Senin, 01 September 2008

Kiri

Melihat Kiri - Kanan

Ibarat mau menyeberang jalan kita harus menoleh kekanan dan kekiri supaya tak ditabarak kendaraan yang lewat. Negara ini semenjak merdekapun melakukan hal sama, dunia yang terbagi dua, memaksa para Founding father republik ini melihat kekanan dan kekiri, membuat gerakan non blok, memposisikan diri netral. Di dalam negeri hampir semua aliran maupun golongan baik yang kanan maupun kiri diterima dalam proses sosial dan politik. Namun malang tak dapat dihindari, mujur tak dapat diraih, negara ini pun pecah karena tidak ada sebuah sistem yang kuat menyangga itu ( NASAKOM pun hancur tak mampu menahan pertentangan ideologi ). Kaum kanan yang diwakili militer akhirnya menang dan membabat habis kaum kiri. Sampai detik ini pun kecendrungan untuk melihat kekanan lebih banyak dari pada melihat kekiri. Padahal sudah banyak contoh negara yang melihat kekanan lebih banyak malah ditabrak ( baca: globalisasi ) dari kanan ( baca; kapitalis ) itu sendiri. Dikuasai olah si kanan, tidak lagi memerintah diri sendiri malah diperintah oleh kekuatan tanpa tanding.

Untuk itulah sesekali kita perlu melihat ke kiri ( baca; progresif revolusioner, anti penindasan ) karena dengan begitu kita bisa melihat betapa luasnya jagad raya ini, menentukan tujuan dan arah perubahan demi masa depan yang lebih baik. Kiri tak selalu di ikuti kata komunis, anti demokrasi, tapi kiri yang menginkan rakyat sejahtera. 61 tahun merdeka, tak satupun kenikmatan yang dirasakan oleh rakyat. Membuat KTP saja harus panjang urusanya, apalagi mendapatkan pelayanan sosial lainnya. Sekolah mahal, rumah sakit mahal, pengangguran tambah banyak dan hampir semua sumber daya alam negara ini dikuasai oleh pihak asing atau negara lain.

Untuk melihat kekiri memang masih barang haram di negri ini. Namun itu bukan suatu persoalan jikalau kita menginginkan perubahan. Coba saja melihat perkembangan yang terjadi di Kuba, sekolah dan pelayanan kesehatan gratis disana, jumlah dokter bertambah ribuan tiap tahun, menjadi pengekspor obat-obatan nomor wahid di dunia. Lihat apa yang dilakukan oleh Chavez, membuat rakyatnya meraksakan akan hadirnya negara dalam bentuk pelayanan publik, tidak dengan birokrasi maupun aparatus militernya, atau lihat apa yang dilakukan oleh Evo Morales, menasionalisasi aset-aset yang penting (minyak dan gas bumi) dan menggunakannya untuk kepentingan rakyat Bolivia.

Komunisme Islam

Komunisme Islam H. Misbach

Dimuat dalam Jurnal Perburuhan Sedane, November 2005.

Islam adalah agama yang dihadirkan ke muka bumi untuk memenuhi panggilan kemanusiaan dan keadilan. Lahirnya Islam sangat terkait dengan konteks historis (kesejarahan) umat manusia pada saat Nabi Muhammad masih hidup. Ajaran Islam harus berpijak pada bumi praksis karena agama ini hadir untuk menyikapi segala problem sosial yang terjadi dalam kehidupan umat manusia. Seorang Muslim yang sejati adalah dia yang berpegang teguh pada nilai-nilai Islam dan menjalankan seluruh ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan yang nyata. Kata dan perbuatan adalah dua hal yang sangat ditekankan dalam Islam.

Di antara sekian banyak pemikir dan pejuang kemanusiaan, salah satunya terdapat nama H. Misbach, seorang kiai komunis yang sejarah hidup perjuangan dan pemikirannya menarik untuk dikaji. Ia dinilai unik karena sangat jarang tokoh yang mempunyai prinsip keyakinan yang kuat seperti dirinya. Biasanya, tokoh yang mengaku pembela hak-hak orang tertindas yang berangkat dari nilai agama lebih bersikap apriori, yaitu memandang bahwa Islam telah mengajarkan sosialisme jauh sebelum ajaran Marxisme itu ada. Lalu di sini mulai dipertentangkan antara agama dan Komunisme, termasuk Islam dan Komunsime. Apakah keduanya memang bertentangan? H. Misbach tidak memandang perbedaan semacam itu. Bagi dia, yang penting adalah bagaimana memanfaatkan “pisau analisa” (tools of analysis) dari Islam dan Marxis untuk membaca realitas sosial dan melakukan perjuangan sosial dengan menghalau segala kekuatan dominatif para kapitalis dan kolonial dalam menjajah negara Indonesia.

Perjalanan H. Misbach dalam menggerakkan agenda perjuangan kemanusiaan dan keadilan adalah dengan melalui wacana dan aksi “Islam Bergerak”. Simbol pemikiran ini telah melekat dalam jati dirinya. Konsep perjuangan yang tengah dilakukan oleh H. Misbach adalah bagaimana mensintesiskan antara ajaran Islam dan ajaran komunisme. Ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad dan ajaran Komunisme yang disampaikan oleh Karl Marx sama-sama ingin membawa masyarakat pada cita-cita kemanusiaan dan keadilan. Sehingga, keduanya tidak perlu dipertentangkan, bahkan dinilainya saling memperkuat.

H. Misbach sangat kagum dengan kepribadian Muhammad dan Karl Marx. Keduanya di mata Misbach adalah sumber inspirasi pergerakan dalam meneguhkan pondasi kemanusiaan di bumi Indonesia. H. Misbach sangat dikenal dengan julukan “Muslim Komunis” atau “Islam Komunis” karena pemikirannya dalam mengkaji Islam dinilai sangat moderat, radikal, dan berhaluan komunis. Ia adalah pejuang komunis yang ada dalam barisan Islam.

Awal mula pergerakan H. Misbach dapat dilacak menurut kejadian historis pra-kemerdekaan negara Indonesia. Keadaan buruk pada tahun 1917-1918 menimbulkan gesekan yang sangat besar. Kenyataan ini tidak bisa disangkal oleh siapapun sehingga menuntut bagi setiap pemikir social-politik Indonesia untuk memberikan tanggapan pemikiran dan konsep yang jitu untuk memecahkan persoalan tehadap kondisi yang rumit pada saat itu. Salah satunya adalah sebuah kelompok yang mencoba mengajukan konsep Marxis untuk memahami realitas sosial yang tengah terjadi. Tokoh utama dari kelompok ini adalah Hendicus Franciscus Marei Sneevliet, ketua ISDV (sebuah gerakan sosial kiri Belanda).

Siapakah Sneevliet itu? Ia lahir pada tahun 1883 di Roterdam. Selepas menamatkan H.B.S ia kemudian aktif dalam sebuah gerakan buruh kereta api. Pada tahun 1913 ia datang ke Indonesia sebagai sekretaris sebuah perkumpulan dagang Belanda. Dan pada tahun 1914 di Semarang ia mulai mengorganisir ISDV. Sneevliet bersama kaum ISDV-nya berhasil mempengaruhi sekelompok angkatan muda yang berasal dari kalangan Sarekat Islam (SI). Misalnya, dari SI Semarang tedapat nama Semaoen, Darsono, dan lain-lain. Dari Jakarta ada Alimin dan Muso. Dan dari Solo muncul seorang tokoh bernama H. Misbach yang kini sedang kita kaji. Dari Sneevliet mereka belajar bagaimana menggunakan analisa Marxistis untuk memahami realitas sosial yang tengah dialami masyarakat Indonesia. Sehingga mereka berkesimpulan bahwa kesengsaraan rakyat Indonesia disebabkan karena struktur kemasyarakatan yang ada, yaitu struktur masyarakat tanah jajahan yang diperas oleh kaum kapitalis.[2]

H. Misbach hanyalah seorang mubaligh lulusan pesantren. Posisinya sangat unik, walaupun ia tidak setenar teman-teman sejawatnya, seperti Semaun, Tan Malaka, atau tokoh-tokoh kiri Indonesia lainnya. Lelaki ini lahir di Kauman, Surakarta. H. Misbach lahir pada tahun 1876 dan dibesarkan di lingkungan keluarga pedagang batik yang makmur. Masa kecilnya ia dipanggil Ahmad. Saat menikah berganti nama menjadi Darmodiprono. Setelah menunaikan ibadah haji, orang mengenalnya sebagai Haji Mohamad Misbach. Pada usia sekolah, H. Misbach telah mengisi wawasan pengetahuannya dengan pelajaran-pelajaran keagamaan dari pesantren. Itu karena ia memang berada dalam lingkungan yang religius. Selain belajar di pesantren, Misbach pernah belajar di sekolah bumiputera "Ongko Loro" selama delapan bulan. H. Misbach kemudian mengikuti jejak ayahnya yaitu menjadi pedagang batik di daerah Kauman. Pada saat SI Surakarta berdiri di tahun 1921, H. Misbach mulai aktif di dalamnya. Tapi, mulai benar-benar aktif ketika SI membentuk Indlandsche Journalisten Bond (IJB). Sepak terjang pergulatan pemikiran H. Misbach sangat terkait dengan konteks historis perkembangan Islam di Surakarta.

Kelompok Islam di Surakarta mengalami perpecahan. Perpecahan ini bermula dari sebuah artikel yang ditulis oleh Martodharsono, seorang guru terkenal dan mantan pemimpin SI yang dimuat dalam Djawi Hiswara. Tulisan itu dinilai beberapa tokoh Islam Surakarta sebagai bentuk “pelecehan” terhadap Islam. HOS. Cokroaminoto memperluas isi artikel dan menyerukan pembelaan Islam atas pelecehan oleh Martodharsono itu yang muncul di Oetoesan Hindia. Karena adanya “provokasi” balik yang dilakukan Cokroaminoto, kaum muda Islam Surakarta bangkit melakukan berbagai aksi perlawanan. Akhirnya, Cokroaminoto membentuk Tentara Kanjeng Nabi Muhammad (TKNM), sebagai kendaraan untuk melakukan perjuangan itu. H. Misbach muncul sebagai seorang mubaligh yang sangat vokal sehingga mulai saat itu namanya mencuat ke atas. H. Misbach menyebar seruan tertulis menyerang Martodharsono serta mendorong terlaksananya rapat umum dan membentuk subkomite TKNM.[3] Pada saat itu, ia menjadi hoofdredacteur (pemimpin redaksi) Medan Moeslimin.

Pada awal perjuangannya, H. Misbach memang dekat dengan pemikiran Cokroaminoto yang sama-sama mengusung tema sosialisme Islam. Ia sangat berhutang budi atas usaha Cokroaminoto yang telah mengangkat namanya ke permukaan di antara sederet tokoh Muslim Surakarta. Tapi dalam perkembangan pemikiran berikutnya, H. Misbach menjadi lebih radikal dalam menggerakkan Islam sebagai agama keadilan dan kemanusiaan. Lembaga perkumpulan tabligh yang reformis bernama Sidiq, Amanah, Tableg, Vatonah (SATV) yang bediri bersamaan dengan berdirinya TKNM kemudian menjadi kendaraan perjuangan H. Misbach untuk mengembangkan pemikiran-pemikirannya. Dari sini sebenarnya H. Misbach sudah “berseberangan” dengan Cokroaminoto, seperti halnya dalam kasus perpecahan SI.

Artikel pertama H. Misbach yang ditulis dalam Medan Moeslimin berjudul “Seroean Kita” menjadi sebuah tulisan yang memikat banyak orang karena ditulis dengan gaya penyampaian yang sangat khas. Dinilai khas karena bernada provokatif dan berfungsi menggerakkan massa yang menjadi harapan perjuangan pergerakannya. Sikap-sikap H. Misbach yang tercermin dalam tulisannya itu kemudian dikuti oleh kelompok SATV. Anak-anak muda yang tergabung dalam SATV mengkritik keras ulah elit pemimpin TKNM yang dinilai melakukan korupsi dan penindasan terhadap umat Islam. H. Misbach mengembangkan ideologi gerakan SATV dengan jalan "menggerakkan Islam", yaitu dengan menggelar tablig, menerbitkan jurnal, mendirikan sekolah, dan menentang keras penyakit hidup boros dan bermewah-mewah, dan semua bentuk penghisapan dan penindasan


Pergulatannya dengan SI dan PKI

Dalam catatan sejarah, H. Misbach terlibat dalam pergulatan intens dengan SI dan PKI. Perpecahan di dalam tubuh SI menyebabkan H. Misbach menentukan sikap di kubu mana ia akan berjuang. SI mengalami perpecahan dengan tampilnya kelompok Semaun dan Darsono yang memperluas jaringan SI Semarang menjadi sebuah kelompok merah radikal. Mereka berdua beserta kaum Komunis lainnya melakukan upaya “pemberontakan” terhadap SI yang dinilai telah keluar dari jalur perjuangan. Kelompok SI yang berhaluan putih, yaitu mereka yang menolak doktrin komunisme dan lebih bersikukuh pada kosep sosialisme Islam, seperti Agus Salim dan Cokroaminoto, melakukan perlawanan dengan memperkuat jaringan SI menjadi Centrale Sarekat Islam (CSI).

Mereka berdua mencoba melepaskan diri dari dominasi kelompok Islam (SI Putih). Kongres SI Oktober 1921 di Surabaya mengambil disiplin partai agar anggota-anggota PKI dikeluarkan dari SI. Kelompok Semaun (SI Semarang) adalah bagian dari korban kebijakan itu. Akhirnya, Semaun dan kawan-kawannya keluar dari CSI. Pada tanggal 24-25 Desember 1921, SI Semarang mengadakan kongres untuk merespon kebijakan baru SI Pusat. Kongres ini dipimpin oleh Tan Malaka sendiri karena Semaun (Ketua) dan Darsono (Wakil) telah berangkat ke luar negeri pada Oktober 1921 untuk melakukan kontak hubungan erat dengan Koskow. Kongres itu akhirnya mengambil keputusan untuk menyusung cabang-cabang SI yang keluar dari CSI itu dalam sebuah centrale SI “merah” guna menentang CSI “putih” pimpinan Cokroaminoto.[4]

Ketika Semaun balik ke Indonesia pada 24 Mei 1922, ia mencoba menyusup ke dalam SI agar tetap bisa menbawa pengaruh komunis dalam SI. Tapi, Semaun mengalami kesulitan karena Kongres SI Februari 1923 tetap mengambil keputusan disiplin organisasi. Sikap ini ditanggapi oleh kaum Komunis dengan mengadakan kongresnya di Bandung pada 4 Maret 1923. Kongres ini dihadiri oleh 16 cabang PKI, 14 cabang SI Merah, dan perkumpulan sehaluan komunis. Ada banyak kritikan yang muncul terlontar dari peserta kongres ini terhadap kebijakan SI Pusat (CSI) tersebut. Semaun menganggap bahwa SI sudah dibentuk untuk menjunjung kepentingan kaum pemodal dan SI memboroskan uang yang diterimanya dari rakyat. Darsono, dalam forum itu, menegaskan bahwa kaum komunis tidak akan melakukan pertumpahan darah, tapi akan bekerja dengan jujur. Sedangkan H. Misbach menunjukkan ayat-ayat al-Qur’an hal-hal yang berkesesuaian antara Islam dan Komunisme. Misalnya, Islam dan Komunisme sama-sama memandang perjuangan sosial demi menegakkan keadilan masyarakat sebagai sebuah kewajiban, sama-sama menghormati HAM, dan bahwa keduanya berjuang terhadap berbagai bentuk penindasan. Seorang Muslim yang sejati sangatlah mustahil menolak dasar-dasar komunis. Adalah dosa besar apabila memakai agama Islam sebagai selimut untuk memperkaya diri (ini ditujukan bagi pemimpin-pemimpin SI). Dalam forum ini pula, H. Misbach mempopulerkan istilah “sama rasa sama rata” sebagai doktrin kaum komunis karena komunisme tidak membiarkan adanya perbedaan-perbedaan nasib, komunisme ingin melenyapkan kelas-kelas manusia, dan itu juga dilakukan oleh Islam.[5]

Akibat kerasnya suara yang disampaikan kaum komunis itu, beberapa tokoh PKI mengalami nasib yang menyusahkan. Misalnya, Semaun dikeluarkan dari Indonesia pada Agustus 1923 karena kasus pemogokan pegawai kereta api (Mei 1923). Ditinggalkannya PKI oleh Semaun, sebagai pelanjut gerakan ini, Darsono berusaha sekuat tenaga untuk mengembalikan kekuatan kaum komunis. Ia berpikir terlebih dahulu tentang bagaimana upaya memperbesar jumlah rakyat umum komunis serta memperkokoh barisannya sebelum memikirkan hal-hal lain. Di seberang kelompok lain, yaitu kelompok H. Misbach, bersikukuh untuk melakukan aksi-aksi liar dan sampai berani melakukan pembunuhan dengan bom, membinasakan tali kawat, dan sebagainya. Itu semua dilakukan demi maksud menyiapkan revolusi. Sangat radikal memang! Tapi, aksi itu berujung pada penghancuran oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan menangkap H. Misbach dan kemudian membuangnya pada bulan Juli 1924 ke Manokwari. H. Misbach meninggal dalam masa pembuangan akibat penyakit malaria pada 24 Mei 1926.

Pemikiran Revolusioner H. Misbach

Pemikiran H. Misbach tentang Islam dan komunisme sangatlah menarik. H. Misbach berangkat dari sebuah keyakinan keras bahwa Islam dan komunisme tidaklah bertentangan. Keduanya saling memperkuat dalam upaya perbaikan kondisi sosial, di mana dan kapanpun selama eksploitasi dan penindasan masih merajalela. Dalam peta pemikiran yang lebih luas, posisi H. Misbach sungguhlah unik. Ia berbeda dengan kebanyakan kelompok Islam garis “kanan” (fundamentalis) yang menganggap bahwa komunisme itu ateis (tidak percaya Tuhan), anti-agama, dan sikap-sikapnya dilakukannya dengan jalan pertumpahan darah. H. Misbach berupaya keras mendekatkan pesan Islam setara dengan pesan yang diajarkan dalam komunisme.

Dalam peta pemikiran di garis “kiri” (Marxis), H. Misbach berbeda dengan kaum komunis lainnya. Walaupun ia sehaluan perjuangan dengan kelompok Semaun, Darsono, Tan Malaka, dan lain-lain (dalam gerbong organisasi PKI/SI Merah) H. Misbach tetap berpegah teguh pada keyakinan Islam, dan oleh sebab itu ia tidak mau menjadi seorang ateis. Agak sulit bersikap seperti H. Misbach ini karena biasanya kaum komunis itu melepaskan diri dari ikatan agama. Perpecahan dalam tubuh SI adalah karena ada beberapa kelompok yang menolak posisi agama lebih dipentingkan dalam perjuangan keadilan dan kemanusiaan pada masa pra-kemerdekaan.

Seperti yang telah penulis petakan mengenai posisi pemikiran H. Misbach yang tidak ke kanan, tapi juga tidak sama persis dengan teman-temannya di kubu kiri. Pemikiran H. Misbach dikenal sangat moderat. Artinya, pemikiran H. Misbach berada pada titik di tengah, mencoba mensintesiskan paradigma Islam dengan paradigma Marxis. Keberislaman H. Misbach tidak dilakukan secara simbolis, sempit, dan normatif. Ia tidak suka dengan simbol-simbol agama yang dimaknai secara normatif. Ambil contoh misalnya dalam hal berkopiah. H. Misbach tidak suka menggunakan penutup kepala yang biasanya menggunakan kopiah model Arab. H. Misbach lebih suka menggunakan penutup kepala model Jawa. Ia merasa bahwa untuk apa menggunakan simbol-simbol agama dalam berpakaian kalau ternyata masih menyimpan kebusukan pemikiran dan sikap keagamaan. Baginya, yang penting adalah substansi dalam mengaplikasikan nilai-nilai agama dalam kehidupan praktis. Identitas Islam tidak memberikan jaminan bahwa seseorang itu telah benar-benar menjalankan Islam dengan baik. Ukurannya adalah sejauhmana tujuan-tujuan agama telah dilaksanakan, dan itu tidak tergantung pada simbolisasi dan pemaknaan sempit.

Dalam berbagai forum, H. Misbach selalu berupaya meyakinkan banyak orang (terutama kelompok Islam) bahwa ada banyak sekali kecocokan antara ajaran Islam dan ajaran komunisme. Ia pun menyuguhkan ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang keadilan dan kemanusiaan, yang itu kemudian dihubungkan dengan pemikiran Karl Marx. H. Misbach hanyalah seorang mubaligh tapi pemikiran dan pergerakannya sangat luar biasa apalagi di masanya itu. Seorang H. Misbach punya keinginan kuat untuk mempersiapkan revolusi Indonesia. Tapi, sayang nama beliau sering dilupakan dalam catatan sejarah perjuangan rakyat Indonesia, seperti halnya seorang Tan Makala. Jika banyak pihak kemudian menyesalkan perjuangan revolusioner yang dilakukan H. Misbach dengan jalan kekerasan, mungkin itu adalah kelemahan dalam pemikirannya. Tapi, itu tidak mengurangi kekuatan pemikirannya yang telah memberikan inspirasi besar bagi para pelanjut gerakan revolusioner di hari kemudian.

Melalui tulisan-tulisan yang tersebar di berbagai media massa pada saat itu, H. Misbach berupaya mengemukakan gagasannya untuk menggerakkan rakyat dalam perjuangan melawan kekuatan kapitalis dan kolonial. H. Misbach pernah membuat sebuah kartun di Islam Bergerak edisi 20 April 1919. Ia menohok kapitalis Belanda yang menghisap petani, bersama mempekerja-paksakan mereka, memberi upah kecil, menarik pajak. Ia pun menggugat residen Surakarta, Paku Buwono X karena ikut-ikutan menindas rakyat. Suaranya lantang dalam menegakkan keadilan di bumi Indonesia. Walaupun ia akhirnya ditindas oleh kekuasaan kolonial yang dibantu oleh kekuatan kapitalis Indonesia, tidak membuat dirinya membungkam suara kerasnya. Siapa saja yang dinilainya buruk maka tidak tanggung-tanggung itu semua akan “dilabraknya”. H. Misbach adalah figur yang sangat pemberani dan punya keteguhan dalam bersikap.

Selama di pengasingan, walaupun dalam kondisi menyedihkan H. Misbach tetap membuat catatan laporan perjalanannya dan mengirimkannya kepada rekan-rekan seperjuangannya. H. Misbach juga menyusun artikel berseri bertemakan "Islamisme dan Komunisme". Tulisan itu bermaksud memberikan kesadaran yang sangat penting bagi orang yang dirinya mengaku Islam dan komunis yang sejati, yakni suka menjalankan apa yang telah diwajibkan kepada mereka oleh agama dan komunis. Dalam keadaan apapun, ia tetap kuat dan berani dalam melakukan apa yang diyakininya benar.

Bagaimana konstruksi pemikiran revolusioner-keagamaan yang dikembangkan oleh H. Misbach? Sesungguhnya, ia mencoba mengeksplorasi pondasi-pondasi dasar kemanusiaan dalam Islam dengan tekanan-tekanan revolusioner. Ia tidak berhenti pada wacana, tapi sudah masuk pada aksi yang dilakukan secara massif dengan kekuatan-kekuatan revolusioner. Islam adalah agama praksis, yaitu sebuah ajaran yang menggerakkan umat manusia untuk memperjuangkan keadilan dan kemanusiaan di muka bumi. Islam bukanlah lembaran-lembaran ayat yang dibaca setiap hari tanpa meberikan makna yang berarti bagi perbaikan kondisi sosial. Sejarah kehidupan Nabi Muhhamad telah menunjukkan bahwa Islam adalah agama perjuangan, yaitu dengan jalan menghalau berbagai kekuatan kapitalis yang mengeksploitasi masyarakat Mekkah pada saat itu. Dalam bahasa H. Misbach, Islam adalah agama yang aktif dan begerak. Dengan memahami pemikiran H. Misbach kita bisa melihat bagaimana menariknya tokoh yang satu ini.

Mari kita coba analisa beberapa butir pemikiran H. Misbach. Pertama, titik pijakannya sangat jelas, yaitu dalam soal tauhid. Di sinilah urgensi bagaimana mengkonkritkan konsep tauhid --yang menjadi pondasi keberislaman seseorang-- dalam bentuk gerakan emanatif di wilayah praksis. Tauhid normatif dikembangkan menjadi tauhid pembebasan, dengan pengertian bahwa “keesaaan Tuhan” berujung pada “keesaan umat manusia”. Dengan prinsip tauhid, manusia diajarkan bagaimana memahami kenyataan dalam kesatuan Tuhan (tiada Tuhan selain Allah) dengan berimplikasi pada upaya untuk mempersatukan umat manusia (dalam satu kesatuan keadilan dan kemanusiaan).

Asghar Ali Engineer, seorang penggagas Teologi Pembebasan Islam, mengungkapkan analisis tajam mengenai hal ini. Menurutnya, Tauhid adalah inti dari teologi Islam yang biasanya diartikan dengan keesaan Tuhan. Teologi pembebasan, berbeda dengan teologi tradisional (normatif), menafsirkan tauhid bukan hanya sebagai keesaan Tuhan, namun juga sebagai kesatuan manusia (unity of mankind) yang tidak akan benar-benar terwujud tanpa terciptanya masyarakat kelas (classless society). Konsep tauhid yang dimaksud demikian sangat dekat dengan semangat al-Qur’an untuk menciptakan keadilan dan kebajikan (al-‘adl wa al-ahsan).[6]

Penjelasan Asghar hampir mirip dengan H. Misbach karena sama-sama menghendaki masyarakat tanpa kelas dengan prinsip tauhid. Jika dirangkai dalam format pemikiran H. Misbach itu disebut dengan istilah masyarakat tauhidi-komunis. Masyarakat tauhidi-komunis adalah tatanan masyarakat yang tidak menghendaki adanya berbagai diskriminasi dalam bentuk warna kulit, kasta, ataupun kelas. Masyarakat tanpa kelas adalah cerminan dari model tatanan ini. Umat manusia benar-benar satu, tidak dibedakan karena kedudukan sosial, karena jenis kelamin, karena warna kulit, dan sebagainya. Dan intinya, masyarakat tauhidi-komunis tidak mengenal bentuk eksploitasi dan penindasan.

Untuk melacak penjelasan tauhid semacam itu, bisa dibaca pada beberapa butir al-Qur’an yang memihak pada kaum tertindas (mustadh’afin). Misalnya, surat al-Qashash ayat 5 dan 6 yang berbunyi: “Dan kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi bumi. Dan kami tegakkan kedudukan meteka di muka bumi.” Di sini terlihat jelas bahwa Islam adalah agama pembebasan dan menjadikan kaum tertindas sebagai tujuan perjuangan dalam Islam. Kaum tertindas tidak bisa diremehkan karena ketika mereka bangkit melakukan perjuangan maka Tuhan tentu bersama mereka.

Kedua, doktrin “sama rata sama rasa” yang pernah disampaikan H. Misbach. Artikel H. Misbach berjudul “Nasehat” dimuat dalam Medan Moeslimin yang terbit pada 1 April 1926 yang isinya antara lain: agama berdasarkan sama rata sama rasa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa hak persamaan untuk segenap manusia dalam dunia tentang pergaulan hidup, tinggi, dan hinanya manusia hanya tergantung atas budi kemanusiaannya. Budi terbagi tiga bagian: budi kemanusiaan, budi binatang, budi setan. Budi kemanusiaan dasarnya mempunyai perasaan keselamatan umum; budi binatang hanya mengejar keselamatan dan kesenangan diri sendiri; dan budi setan yang selalu berbuat kerusakan dan keselamatan umum.

Konsep “sama rata sama rasa” dimaksudkan ingin memposisikan manusia dalam satu perasaan dan kesejahteraan bersama. Tidak ada pembedaan antar umat manusia, tidak ada yang berkelas atas dan di bawahnya, yang berkedudukan dan yang tidak mempunyai kedudukan sama sekali, antara yang kaya dan miskin. Umat manusia diukur sejauhmana kemanusiaan yang ada dalam dirinya itu diperhatikan. Manusia yang punya rasa kemanusiaan untuk memberikan keselamatan dan rasa aman bersama adalah manusia yang sejati. Di hadapan Tuhannya, tidak ada manusia yang dibeda-bedakan. Hanya hambanya yang punya iman dan rasa kemanusiaan tinggi adalah dia yang benar-benar telah bertakwa.

Dengan istilah tersebut, H. Misbach ingin mengkonkretkan bangunan konsep Islam dan komunisme tentang masyarakat tanpa kelas. Mengenai masyarakat tanpa kelas, bisa dirujuk pada surat al-Mukminun ayat 52 yang berbunyi: “Sesungguhnya ini, umat kamu, umat yang satu dan Aku Tuhanmu, sebab itu takutlah kepada-Ku.” Umat manusia adalah satu, tanpa kelas-kelas dan pembedaan. Semuanya di mata Tuhan adalah sama. Manusia diciptakan berasal dari satu, dan akan berakhir pada sebuah kesatuan pula. Tugas manusia adalah bagaimana mengembalikan simpul kesatuan itu. Dan tugas ini adalah apa yang dicita-citakan dalam Islam dan komunisme.

Ketiga, ideologi H. Misbach adalah “Islam bergerak”, yaitu bersatunya kata dan perbuatan. Ia menggerakkan Islam untuk memerangi ketidakadilan, penindasan, dan eksploitasi. Islam bergerak kemudian menjadi “rakyat bergerak”. Apa makna dibaik peralihan ini? Dengan titik pijak Islam yang digerakkan dalam merespon berbagai kondisi sosial yang timpang, kemudian diproyeksikan dalam wilayah yang lebih luas, yaitu rakyat secara keseluruhan untuk dijak dalam satu perjuangan melawan bentuk-bentuk penindasan. Dalam proses perjuangan, kata dan perbuatan menjadi satu. Tidak cukup perjuangan hanya dengan kata-kata dalam bentuk tulisan dan ceramah, tapi mesti dibarengi dengan gerakan yang lebih nyata. Dan ini telah dilakukan oleh H. Misbach dengan baik sekali. Ia adalah pemikir-pergerakan yang sangat tulen. Ia tidak ingin terjebak pada dinding intelektualisme yang kaku, yang hanya berbicara di atas menara gading dan menjauh dari realitas yang ada.

Membangun masyarakat tanpa kelas tidak bisa dilakukan jika tidak dibarengi dengan gerakan dan perbuatan yang konkrit. Berbicara tentang keadilan dan kemanusiaan tidak cukup dengan kata-kata, tapi harus pula dibarengi dengan perbuatan yang nyata. Artinya, bagaimana menggiring dari cita-cita normatif Islam ke gerakan sosial untuk memerangi berbagai ketidakadilan yang mewabah di muka bumi. Apa yang digerakkan oleh H. Misbach adalah bertujuan mengembangkan cita-cita transformasi sosial. Ini senada dengan pemikiran Kuntowijoyo tentang perpaduan antara iman dan amal. Di dalam al-Qur’an sering sekali disebutkan agar manusia itu beriman dan beramal shalih. Beriman tidak cukup dengan mengucapkan beberapa kalimat baik (kalimah thoyyibah). Iman itu harus berujung pada amal (aksi). Artinya, tauhid harus diaktualisasikan. Memang, pusat Islam adalah Tuhan, tapi ujung aktualisasinya adalah manusia. Semua nilai-nilai dalam Islam juga berimplikasi praktis dalam kehidupan nyata, yaitu kehidupan umat manusia.[7]

Soal perpaduan kata dan perbuatan dari H. Misbach ini sangatlah menarik. Bagaimana mungkin ketidakadilan itu bisa diberantas tanpa upaya konkrit perjuangan sosial? Sepertinya, H. Misbach juga terinspirasi oleh surat ar-Ra’du ayat 11 yang berbunyi: “sesunggunya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka sendirilah yang mengubahnya”. Perjuangan H. Misbach adalah ingin mengubah keadaan masyarakat menuju keadilan. Itu mesti melibatkan tangan-tangan aktif manusia. Tidak bisa mengandalkan takdir sejarah. Semuanya akan terjadi apabila manusia sendirilah yang melakukan perubahan. Berkata adalah suatu hal yang sangat mudah, tapi bagaimana melakukannya adalah hal yang sulit sehingga membutuhkan kesadaran dan kesabaran dari masing-masing individu.

Mengenai persamaan ajaran Islam dan Komunisme didukung oleh Soekarno. Dalam tulisannya berjudul “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”, ia mengatakan bahwa “Kaum Islamisme tidak boleh lupa bahwa kapitalisme musuh Marxisme, itu musuh Islam pula”; “Islamis yang fanatik dan memerangi Marxisme adalah Islamis yang tak kenal larangan-larangan agamanya sendiri”; “Hendaknya kaum itu sama ingat bahwa pergerakannya itu dengan pergerakan Marxis, banyak persesuaian cita-cita, banyaklah persamaan-persamaan tuntutan-tuntutan”. Ucapan-ucapan Soekarno mendukung pemikiran H. Misbach, yaitu bahwa Islam dan kaum komunis sama-sama dalam satu peta perjuangan. Hanya saja, Soekarno lebih suka menggunakan istilah Marxisme.

H. Misbach telah melakukan kajian yang menarik mengenai kaitan Islam dan komunisme, dan ia pun telah mempraktekkan dalam berbagai perjuangan yang nyata. Sudah selayaknya, posisi H. Misbach tidak bisa diabaikan. Ia adalah pemikir dan pejuang Islam komunis yang mempunyai banyak kontribusi positif dalam dunia pemikiran dan pergerakan Islam dan keindonesiaan. Wallahu A’lam.

Perjuangan Kelas dan Revolusi

Karl Marx: Perjuangan Kelas dan Revolusi

Alur dan jalan pikiran teori-teori Karl Marx sulit dimengerti kalau kita tidak memahami latar belakang gagasan-gagasan dasar dari dua pemikir sebelumnya yang tentunya sangat berpengaruh bagi Karl Marx yaitu George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831) dan Ludwig Feuerbach (1804-1871).

Prinsip terpenting yang diadopsi Karl Marx dari Hegel yaitu pendekatan dialektis terhadap segala gejala yang ada. Dialektika dimengerti sebagai, “kesatuan dari apa yang berlawanan“ atau sebagai “perkembangan yang berjalan dalam langkah-langkah yang saling berlawanan“. Oleh sebab itu dalam prinsip dialektika muncul beberapa istilah yang lantas menjadi kerangka kerja ilmiahnya yaitu tesis, antitesis dan sintesis. Karl Marx lantas menempatkan prinsip-prinsip dialektika Hegal dalam menelaah sejarah.

Bagi Karl Marx sejarah adalah gerakan ke kebebasan. Sejarah berjalan dalam loncatan-loncatan dialektis. Seperti Hegel, Karl Marx pun yakin bahwa sejarah mempunyai tujuan dan ia yakin pula bahwa kebebasan akan tercapai yaitu dalam masyarakat yang tanpa kelas. Dari Hegel Karl Marx menerima paham bahwa manusia merealisasikan dirinya sendiri di dalam pekerjaannya dan bahwa sejarah adalah karyanya.

Filsafat Feuerbach yang sangat berpengaruh sampai saat ini yaitu kritiknya terhadap agama. Bagi Feuerbach, agama hanyalah suatu proyeksi manusia. Agama adalah tanda keterasingan manusia dari dirinya sendiri. Oleh sebab itu, manusia harus meniadakan agama agar bisa keluar dari keterasingan itu. Karl Marx pada prisipnya tidak menolak kritik agama Feuerbach. Kritik Karl Marx yang dialamatkan pada Feuerbach yaitu bahwa Feuerbach tidak mempersoalkan mengapa manusia sampai mengasingkan diri dalam agama.

Karl Marx memberikan analisa tajamnya yaitu bahwa manusia terpaksa dan puas dengan perealisasian diri dalam agama saja karena keadaan masyarakat tidak mengijinkannya merealisasikan hakekatnya secara sungguh-sungguh. Tata-susunan masyarakat tidak memberi peluang bagi manusia untuk merealisasikan dirinya dengan sungguh-sungguh. Yang mendesak perlu diubah bagi Karl Marx yaitu keadaan masyarakat sekeliling yang menghalangi perealisasian hakekat manusia. Dengan demikian Karl Marx meninggalkan kritik agama dan mengarahkan elaborasinya pada masyarakat. Masyarakatlah yang harus diubah.

Berdasarkan kerangka ilmiah pemikir-pemikir sebelumnya, entah dengan alur pikiran yang searah maupun yang bertentangan dalam koridor kritik, Karl Marx menawarkan beberapa gagasan penting dan baru dalam ranah filsafat yang dalam tulisan ini hanya dibatasi pada beberapa gagasannya yaitu konsepsi tentang manusia, nilai guna dan nilai tukar, alienasi manusia, dan perjuangan kelas dan revolusi.

Riwayat Hidup Karl Marx

Karl Marx lahir pada tahun 1818 di kota Trier di Jerman sebagai anak seorang pengacara Yahudi yang telah menjadi Kristen Protestan. Setamat SMA pada tahun 1836, ia selama satu semester belajar ilmu hukum di kota Bonn dan selanjutnya pindah ke kota Berlin untuk belajar ilmu filsafat. Selama di Berlin ia menjadi anggota kelompok orang intelektual muda yang menamakan diri Klub Doktor. Kelompok ini sangat terpengaruh dan mengagung-agungkan seorang pemikir aliran idealisme yaitu G.W.F. Hegel yang meninggal di Berlin pada tahun 1931.

Pada tahun 1841 Karl Marx mendapat promosi menjadi doktor filsafat di Universitas Jena dengan tesisnya yaitu filsafat Demokrit dan Epikur. Tahun berikutnya Karl Marx menduduki jabatan pemimpin redaksi di sebuah harian progresif di Köln. Jabatan ini tidak bertahan lama karena adanya sensor dari Prussia. Ia terpakasa meninggalkan Jerman dan tinggal di Paris. Pada pertengahan tahun 1843 ia menikahi seorang puteri bangsawan yang bernama Jenny von Westphalen. Di Paris Karl Marx suka bergaul dan berkenalan dengan beberapa tokoh sosialis, di antaranya dengan Friedrich Engels (1820-1895) yang selama hidupnya menjadi sahabat karibnya. Di Paris inilah ia untuk pertama kalinya bertemu dengan kaum buruh yang sungguh-sungguh.

Selama di Paris Karl Marx menulis beberapa karangan penting yaitu “Tentang Masalah Yahudi”, “Pengantar Kepada Kritik Filsafat Hukum Hegel”, “Naskah-Naskah Paris tentang Filsafat dan Ekonomi Nasional” dan “Keluarga Suci”.

Pada tahun 1945 Karl Marx dan isterinya diusir oleh pemerintah Perancis. Mereka terpaksa pindah ke Brussel. Di Brussel mereka tinggal selama 2 tahun lebih dan selanjutnya pindah ke London. Pada tahun 1846 Karl Marx bersama Engels merumuskan pandangan materialis mereka tentang sejarah dalam sebuah karangan yang berjudul “Ideologi Jerman”. Pada permulaan tahun 1948 Karl Marx dan Engels menulis “Manifesto Komunis“ yang terkenal itu. Dua bulan setelah “Manifesto Komunis” pecahlah di seluruh Eropa dengan apa yang dinamakan Revolusi ’48. Karl Marx memutuskan kembali ke Jerman dan mendirikan sebuah harian. Sayang, Revolusi ’48 itu gagal sehingga pada tahun 1849 Karl Marx terpaksa kembali lagi ke London dan menetap di sana untuk selamanya.

Di London pasca kegagalan Revolusi ’48, Karl Marx tidak memusatkan diri pada aksi-aksi praktis dan revolusioner. Ia kini memusatkan perhatiaannya pada hal-hal yang bersifat teoritis, khususnya pada ilmu ekonomi. Pada tahun 1857 Karl Mark mulai menulis sebuah buku yang ternyata baru bisa diterbitkan pada tahun 1938 dengan judul “Foundation of the Critique of Political Economy”. Buku setebal 1100 halaman ini berisi tentang masalah ekonomi dan perkembangan masyarakat. Pada tahun 1967 buku yang sangat terkenal dari Karl Marx yaitu “Das Kapital” jilid pertama terbit. “Das Kapital” jilid kedua dan ketiga baru diterbitkan oleh Engels setelah Karl Marx meninggal dunia.

Pada tahun 1864 partai-partai buruh nasional mendirikan Asosiasi Buruh Internasional. Karl Marx masuk dalam anggota dewan. Di dalam asosiasi ini Karl Marx mengalami konflik dengan Mikail Bakunin dan akhirnya perselisihan itu menghacurkan eksistensi Asosiasi Buruh Internasional.

Hidup pribadi Karl Marx sebenarnya sangat memprihatinkan. Mereka menderita kekurangan dan kemlaratan. Dalam beberapa sumber disebutkan bahwa salah seorang anaknya mati karena kurang makan. Karl Marx tidak memiliki pendapatan yang tetap dan tidak tahu mengurus uang. Hidup keluarganya banyak disokong oleh sahabat karibnya yaitu Engel yang memiliki pabrik di Menchester.

Karl Marx besar adalah seorang yang keras kepala dan otoriter. Rekan-rekannya yang tidak suka dengan teorinya diserang dengan kata-kata yang bahkan menjelekkan nama dan kepribadian mereka. Ia bermusuhan dengan banyak teman sekerjanya. Hanya Engels yang sepertinya memahami dan mau menerima kepribadian Karl Marx. Di banyak buku Engels disebut sebagai sahabat karib Karl Marx. Tahun-tahun terakhir kehidupan Karl Marx sangat memprihatinkan. Ia banyak mengalami kesendirian dan kesepian. Karl Marx meninggal dunia pada tahun 1883 hanya diiringi oleh delapan orang yang berdiri di pinggir makamnya.

Konsepsi Tentang Manusia

Keprihatinan Karl Marx ialah manusia. Dalam beberapa naskah yang ditulisnya sekitar tahun 1932 ada indikasi bahwa Karl Marx muncul sebagai seorang pemikir humanis sejati. Kalau pada tahun-tahun sebelumnya Karl Marx lebih condong pada hukum-hukum ekonomi dan sejarah, sejak tahun-tahun ini ia berkutat dengan konsepsi tentang manusia. Pada dasarnya manusia itu harus bekerja untuk memenuhi kebutuhannya. Pandangan Karl Mark yang secara teori bagus ini pada kenyataan hidupnya berbeda. Keluarganya miskin dan sepertinya ia tidak mampu mengaplikasikan teorinya sendiri.

Manusia harus bekerja karena manusia harus memenuhi kebutuhannya. Hal demikian berbeda dengan binatang yang langsung dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dari alam. Manusia harus merubah alam dan dengannya manusia baru bisa hidup. Pekerjaanlah yang membedakan manusia dari binatang. Menurut Karl Marx, manusia itu makhluk ganda yang aneh. Di satu pihak ia makhluk alam seperti binatang dan dipihak lain ia harus berhadapan dengan alam sebagai sesuatu yang asing baginya. Manusia tidak tergantung dari lingkungan alam, tetapi bisa mengolah seluruh alam demi tujuannya yang macan-macam. Pekerjaan itu tanda khas yang melekat pada manusia. Pekerjaan itu tanda bahwa manusia adalah makhluk yang bebas dan universal.

Sebagai makhluk yang bebas manusia tidak hanya melakukan apa yang langsung menjadi kecondongannya. Manusia menghadapi kebutuhan-kebutuhannya dengan bebas. Manusia itu universal karena ia tidak terikat pada lingkungan yang terbatas. Manusia dapat mempergunakan seluruh alam demi tujuan-tujuannya. Seluruh alam dapat menjadi bahan pekerjaannya. Ia berhadapan dengan alam secara universal. Bagi Karl Marx, hanya manusia yang dapat berproduksi menurut hukum-hukum keindahan. Pekerjaan adalah tanda martabat manusia.

Pekerjaan itu bagi manusia lebih dari sekadar alat untuk memenuhi kebutuhan. Di dalam pekerjaan manusia merealisasikan dirinya sendiri. Hasil ukiran dari seorang pengukir mencerminkan kecakapan, kemampuan dan hakekat pengukirnya. Di dalam pekerjaan manusia mengambil dari bentuknya yang alamiah dan memberikan bentuknya sendiri kepadanya. Manusia mengobyektivasikan diri ke dalam alam melalui pekerjaannya. Produk pekerjaannya mencerminkan hakekatnya sendiri. Manusia kerasan di dalam alam karena dibenarkan hakekatnya. Dalam pelbagai pekerjaan manusia melahirkan bakat-bakatnya pada alam dan dengan demikian manusia merealisasikan dirinya sendiri.

Pada aspek lain, Karl Marx memandang bahwa pekerjaan merupakan tanda bahwa manusia itu mahkluk sosial. Manusia memerlukan orang lain. Pengakuan manusia lain dapat membuat seorang manusia bahagia. Pengakuan atas hasil kerja dari orang lain membuat seseorang menjadi bahagia dan merasa diakui. Pekerjaan adalah jembatan antara manusia yang selalu berinteraksi.

Karena pada dasarnya manusia itu mahkluk sosial, Karl Marx menolak baik individualisme maupun kolektivisme. Individualisme keliru karena manusia melalui bahasa dan pekerjaannya sudah sejak semula dibentuk dan dicetak masyarakat dan tidak dapat hidup tanpa adanya masyarakat. Kolektivisme juga keliru karena kolektivisme pada dasarnya memiliki implikasi menolak manusia dalam seluruh kekayaan hakekatnya yang konkret.

Nilai Tukar dan Nilai Guna

Karl Marx berpandangan bahwa nilai tukar sebuah barang sangat ditentukan oleh jumlah atau waktu yang diperlukan di dalam mengerjakan barang tersebut. Yang dimaksudkan dengan nilai tukar yaitu nilai sebuah barang kalau diperjual-belikan di pasar dan yang biasanya dinilai dalam ukuran jumlah uang. Sementara itu, nilai guna diukur dari gunanya suatu barang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia. Nilai guna tergantung dari macam barang dan kebutuhan di dalam masyarakat. Nilai guna tidak ditentukan oleh waktu yang diperlukan untuk membuatnya. Nilai tukar sebuah barang sangat ditentukan oleh intensitas pekerjaan di dalam mengerjakan sebuah barang. Sebuah barang yang pembuatannya membutuhkan waktu dua jam bernilai dua kali lebih tinggi dari barang lain yang hanya dikerjakan dalam waktu satu jam. Meski demikian, nilai sebuah barang tidak ditentukan oleh kerja individu, melainkan oleh apa yang dinamakan oleh Karl Marx dengan “waktu kerja sosial yang diperlukan“. Artinya, waktu yang rata-rata diperlukan dan dengan kepandaian tertentu untuk membuat barang tersebut di dalam masyarakat.

Berkaitan dengan nilai tenaga kerja, Karl Marx melihat bahwa tenaga kerja dalam sistem kapitalis dipandang sebagai barang dagangan. Karena si pemilik pabrik membutuhkan tenaga kerja untuk menjalankan mesin-mesinnya, ia membeli tenaga kerja itu di pasaran dan membayarnya menurut nilainya. Sayang, banyak pemilik pabrik yang membeli tenaga kerja dengan seenaknya. Menurut Karl Marx, nilai tenaga kerja perlu ditentukan oleh nilai semua barang yang dibutuhkan tenaga kerja supaya ia dapat hidup. Nilai tenaga kerja adalah nilai makanan, tempat tinggal dan kebutuhan-kebutuhan lainnya dari si tenaga kerja dan keluarganya. Semua ini juga ditentukan oleh tingkat sosial dan kultural dalam masyarakat tertentu.

Dalam korelasi antara buruh (tenaga kerja) dan kapitalis, Karl Marx melihat adanya ketimpangan. Hal demikian digagas dalam ajarannya tentang nilai lebih. Nilai lebih adalah diferensi antara nilai yang diproduksi selama dalam jangka waktu tertentu oleh seorang tenaga kerja dan biaya kehidupannya sendiri. Seorang buruh supaya ia dan keluarganya bisa hidup dan memenuhi kebutuhannya selama sehari membutuhkan uang sebesar Rp. 8.000,-. Jadi, nilai tenaga kerjanya yaitu Rp. 8.000,-. Untuk nilai itu ia menawarkan tenaganya di pasaran. Si kapitalis yang membutuhkan tenaga kerja tersebut membelinya dengan harga yang diinginkan si tenaga kerja tersebut. Si kapitalis kini bisa mempergunakan tenaga kerja itu semaunya karena ia telah membelinya. Secara teori si kapitalis bisa mempekerjakannya selama 24 jam penuh. Tentu saja ia tidak akan melakukannya karena kualiatas tenaga orang tersebut akan menurun. Si kapitalis juga tahu bahwa tenaga kerjanya membutuhkan waktu untuk istirahat, rekreasi dan sebagainya. Si kapitalis lantas menyuruh orang tersebut untuk bekerja 8 jam sehari.

Kita andaikan bahwa orang tersebut dalam waktu 4 jam bisa menghasilkan barang yang berharga Rp. 8.000,-. Ini artinya bahwa sebetulnya sesudah 4 jam orang tersebut bisa berhenti bekerja karena ia sudah menciptakan nilai yang dibutuhkan supaya ia dan keluarganya dapat hidup. Tetapi karena ia sudah menjual tenaga kerjanya maka ia harus bekerja 4 jam lagi. Waktu kedua dirampas oleh si kapitalis. Waktu kedua adalah nilai lebih. Waktu kedua oleh Karl Marx disebut nilai lebih karena waktu tersebut melebihi waktu yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup si pekerja selama sehari. Kini pekerja tersebut dalam waktu 8 jam menghasilkan barang senilai Rp. 16.000,- dan ia hanya mendapatkan Rp. 8.000,-.

Nilai lebih adalah keuntungan yang dikantongi si kapitalis. Dari contoh di atas, si kapitalis memperoleh keuntungan Rp. 8.000,- dalam sehari. Keuntungan itu dicurinya dari si tenaga kerja. Karl Marx menyebut keuntungan kaum kapitalis sebagai “nilai lebih yang dicuri”. Nilai lebih adalah satu-satunya sumber keuntungan bagi si kapitalis.

Alienasi Manusia

Di dalam agama manusia mengalami alienasi (keterasingan). Karl Mark tidak menolak kritik agama yang dilontarkan pendahulunya yaitu Feuerbach. Namun, Karl Marx kini telah meninggalkan kritik agama dan menawarkan gagasan yang baru dalam kaitan keterasingan manusia dalam koridor masyarakat. Karl Marx melihat bahwa manusia memang mengalami keterasingan yaitu dalam uang, pekerjaaan dan dari orang lain.

Uang adalah tanda keterasingan manusia. Seseorang bisa membeli segala barang dengan uang. Nilai yang terutama hanya nilai uang dan bukannya kekhususan barang yang telah dibeli tersebut. Barang tersebut lantas kehilangan nilai hakekatnya dan digantikan dengan nilai uang. Barang-barang alam kehilangan nilainya dan dengannya telah terasing dari manusia. Manusia membeli segala sesuatu demi uang. Relasi dengan sesama manusia pun banyak diukur dengan nilai uang. Uang mengasingkan manusia yang satu dengan yang lainnya. Manusia tidak lagi saling menghargai tetapi hanya saling mempergunakan. Hal demikian mengarahkan pada sikap egois, dimana orang lain dipandang sebagai saingan atau hanya sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan kita.

Manusia juga terasing di dalam pekerjaannya. Meski manusia merealisasikan dirinya dalam pekerjaan dan pekerjaan itu bisa menggembirakan dan membuatnya bangga karena manusia dengannya menemukan kepuasan atas hasilnya, tetapi pada kenyataanya pekerjaan buat manusia telah menjadi pekerjaan paksa. Manusia bekerja karena itu satu-satunya jalan untuk menjamin nafkah hidupnya.

Keterasingan manusia dalam pekerjaaan dapat dilihat pada keterasingan manusia akan produknya. Hasil kerja manusia yang seharusnya menjadi kebanggaannya tidak dimilikinya. Produk itu milik orang lain yaitu si pemilik pabrik. Baru saja manusia membuatnya, produknya itu dirampas dari miliknya dan bahkan si pemilik pabrik menjualnya.

Di samping itu, manusia juga terasing dari tindakan pekerjaannya itu sendiri. Manusia (si buruh) tidak mempunyai kesempatan untuk memilih pekerjaan yang akan mampu merealisasikan dirinya sendiri dalam pekerjaaan. Kesempatan untuk itu tidak dimungkinkan karena ia hanya bisa bekerja dimana ada tempat kerja dan dia sendiri tidak menguasai tempat-tempat kerja. Tempat itu dikuasai pemodal dan si buruh hanya menerima pekerjaan apa saja yang ditawarkan oleh pemodal itu. Dengan demikian pekerjaan kehilangan artinya. Kekhususan masing-masing pekerjaan sudah kehilangan arti baginya. Ia hanya bekerja sebagai alat untuk mencapai tujuan lain yaitu memenuhi kebutuhan hidupnya.

Manusia yang menurut Karl Marx pada dasarnya bebas dan universal itu kini semakin terasing karena manusia terjebak dalam pekerjaan. Manusia bekerja seperti binatang yaitu demi satu tujuan supaya ia bisa hidup. Manusia melihat alam hanya dalam perspektif manfaatnya untuk mendapat uang. Dengan demikian, manusia tersebut mengasingkan hakekatnya yang bebas dan universal. Pekerjaan yang menyebabkan keterasingan ini pada umumnya yaitu pekerjaan upahan. Pekerjaan upahan adalah pekerjaan yang dijalankan hanya demi upah saja.

Pekerjaan upahan telah mengasingkan manusia darí orang lain karena di dalam sistem yang demikian lantas muncul kelas-kelas yang saling berhadapan dan bertentangan dan lalu saling membenci satu dengan lainnya. Di samping itu, pekerjaan upahan mengasingkan buruh di antara mereka sendiri. Hal ini terjadi karena mereka harus bersaing berebut tempat kerja. Karena keterbatasan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan, sesama lantas menjadi saingan. Hal demikian menimbulkan jarak antar manusia dan dengannya manusia semakin terasing dari sesamanya.

Karl Marx mengajukan dua syarat agar masyarakat berkelas dapat dihapus yaitu: Pertama, cara produksi harus telah berkembang sedemikian rupa sehingga pembagian pekerjaan tidak perlu lagi. Kedua, harus telah berkembang suatu kelas yang berkepentingan untuk tidak hanya menggulingkan kelas yang berkuasa melainkan untuk menghancurkan sistem masyarakat berkelas itu sendiri dan mendirikan suatu masyarakat yang tidak ada kelasnya lagi.

Perjuangan Kelas dan Revolusi

Karl Marx melihat bahwa ketegangan antara tenaga-tenaga produksi dan hubungan-hubungan produktif terungkap dalam ketegangan antar kelas dalam masyarakat. Satu kenyataan sosial yang tak terbantahkan yaitu bahwa di dalam masyarakat terdapat dua kelompok yang saling berhadapan secara tak terdamaikan yaitu antara kelas atas dan kelas yang tertindas.

Pertentangan kelas atas dan kelas yang tertindas tak dapat didamaikan karena bersifat obyektif. Pertentangan ini ada karena secara nyata dan tak terhindarkan masing-masing kelas ambil bagian dalam proses produksi. Di dalam proses produksi masing-masing kelas menempati kedudukannya masing-masing. Kelas atas berkepentingan secara langsung untuk menghisap dan mengeksploitasi kelas yang tertindas karena ia telah membelinya. Kelas atas menindas dan menghisap kelas bawah karena kedudukan dan eksistensi mereka tergantung dari cara kerja yang demikian. Sementara itu kelas yang tertindas berkepentingan untuk membebaskan diri dari penindasan dan bahkan berkepentingan menghancurkan kelas atas.

Perbaikan kelas-kelas tertindas tidak dapat dicapai melalui kompromi. Perbaikan tidak dapat diharapkan pula dari perubahan sikap kelas-kelas atas. Bagi Karl Marx, hanya ada satu jalan saja yang paling terbuka yaitu perjuangan kelas. “Sejarah semua masyarakat yang ada hingga sekarang ini adalah sejarah perjuangan kelas,” demikian Karl Marx menegaskan dalam bukunya “Manifesto Komunis”. Sejarah umat manusia ditentukan oleh perjuangan antara kelas-kelas. Karl Marx menolak pendapat bahwa individu dengan kehendak individualnya dapat menentukan arah sejarah. Individu hanya melakukan apa yang merupakan kepentingan kelas mereka masing-masing. Perjuangan akan sungguh-sungguh apabila bersifat subyektif, yaitu apabila kelas-kelas yang tertindas menyadari keadaan mereka, menentangnya dan berusaha untuk mematahkan dominasi kelas-kelas yang berkuasa.

Pertentangan antar kelas terjadi karena adanya pertentangan kepentingan-kepentingan kelas-kelas yang ada. Satu jalan perjuangan kelas yaitu menghancurkan sistem yang menghasilkan kepentingan-kepentingan kelas atas. Tetapi, perubahan sistem itu dengan sendirinya pasti akan ditentang oleh kelas-kelas atas. Biasanya kelas atas mempertahankan sistem dengan cara memperalat kekuasaan negara. Kelas atas membenarkan kekuasaan negara secara moral dengan menyebarkan ideologi yang menunjukkan kesan bahwa negara dan tata-susunan masyarakat itu suci, tak terjamah dan perlu didukung demi kepentingan masyarakat.

Perubahan sejarah umat manusia dalam masyarakat hanya tercapai dengan jalan kekerasan yaitu melalui suatu revolusi. Karl Marx pada dasarnya menentang semua bentuk usaha untuk memperdamaikan kelas-kelas yang bertentangan. Reformasi pada kelas atas dan usaha pendamaian antar kelas hanya akan menguntungkan kelas penindas. Karl Marx menekankan bahwa perjuangan kelas yaitu penghancuran penindasan yang terjadi dalam masyarakat. Tidak mengherankan, dalam masyarakat kapitalis Karl Marx menekankan pentingnya revolusi proletariat. Revolusi proletariat yaitu usaha mencopot hak milik kaum kapitalis atas alat-alat produksi dan menyerahkannya kepada seluruh rakyat.

Kesimpulan dan Kritik

Karl Marx memahami manusia sebagai person yang tidak boleh diperalat atau memperalat diri karena manusia adalah tujuan pada dirinya sendiri. Manusia adalah bebas dan universal. Manusia harus merealisasikan dirinya dalam pekerjaan dan tidak boleh diperbudak oleh pekerjaan.

Karl Marx berhasil menyuarakan suatu masalah yang dirasakan manusia-manusia modern yaitu keterasingannya dalam masyarakat tehnologi. Kelemahan Karl Marx bukannya karena ia memandang pekerjaan sebagai tindakan dasar manusia, melainkan karena ia menganggap sebagai satu-satunya. Karl Marx tidak melihat bahwa interaksi yaitu komunikasi antar manusia adalah tindakan yang penting juga (Jürgen Habermas). Habermas yakin bahwa keterasingan tidak akan hilang hanya karena perubahan sistem. Faktor komunikasi memainkan peranan penting untuk mengurangi keterasingan dengan jalam reformasi di dalam sistem.

Karl Marx berpandangan bahwa suatu pengurangan penindasan di dalam sistem yang ada (reformasi) tidaklah mungkin. Baginya, penindasan hanya dapat dipatahkan dengan sebuah revolusi. Kelemahan Karl Marx di sini yaitu bahwa buruh-buruh di beberapa negara kapitalis dapat memperjuangkan kemajuan mereka tanpa melalui suatu revolusi. Karl Marx tidak bisa melihat kemungkinan ini karena ia berpendapat bahwa kepentingan-kepentingan kelas atas dan kelas yang tertindas tidak akan pernah dapat diperdamaikan. Kekeliruan mendasar Karl Marx yaitu bahwa borjuasi sebagai kelas atas tidak mau mencari damai. Pada kenyataannya kelas atas menyadari kerugian kalau ada revolusi. Oleh sebab itu mereka bersedia untuk mengurangi penghisapan, memperbaiki syarat-syarat kerja, membagi kekuasaan politik dengan kaum buruh dan bahkan memberi hak kepada kaum buruh untuk ikut menentukan kebijakan perusahaan.***

Analisis Kelas

Sekilas tentang Analisis Kelas dan Relevansinya[*]

Pembicaraan hari ini soal analisis kelas. Tapi, sebelum sampai ke sana, saya akan menyambung apa yang tadi disebut bahwa George Aditjondro misalnya menyatakan bahwa jangan hanya analisis kelas, kita juga harus mengerti soal etnis, jender. Peringatan semacam itu disampaikan, karena orang yang menggunakan analisis kelas menganggap bahwa dimensi kelas itu penting—kalau bukan yang paling penting—di dalam kenyataan sosial. Saya tidak termasuk jenis itu. Bagi saya, analisis kelas, jender, etnis, dan segala macam adalah cara kita mengorganisasi pengetahuan. Kita lihat suatu masyarakat, dimensi apa yang kita mau perhatikan: bisa kelas, bisa jender, bisa apapun. Dalam kesempatan yang satu dimensi kelas sangat menonjol dibanding dimensi yang lain, sementara dalam kesempatan lain tidak.

Jadi, analisis kelas bukan untuk dihadap-hadapkan, dipertentangkan dengan macam-macam pendekatan atau analisis yang lain. Memang ada kekhususan dari analisis kelas: membayangkan bahwa gerak sejarah dari masa lalu sampai sekarang aspek kelas sangat menonjol. Penting untuk dicatat bahwa aspek tersebut bukan yang paling penting, tetapi sangat menonjol, dan banyak menentukan dimensi kehidupan yang lain. Kurang lebih itu awalan untuk membicarakan analisis kelas. Analisis kelas merupakan satu dari sekian banyak cara untuk melihat masyarakat.

Dalam tulisan berjudul “The Class Question in Indonesian Social Science” (Vedi R. Hadiz and Daniel Dhakidae, Social Sciences and Power in Indonesia, p. 167—196) ada dua hal yang dibahas. Pertama tentang sejarah teori, karena tujuan dari tulisan itu adalah berbicara tentang hubungan ilmu sosial dengan kekuasaan. Hubungan itu ternyata tidak mulus. Kita tahu selama Orde Baru banyak ilmuwan sosial dipekerjakan oleh pemerintah untuk membuat proyek-proyek penelitian yang kesimpulannya akan mendukung kebijakan pemerintah. Sampai sekarang hal itu masih ada. Departemen-departemen merekrut peneliti-peneliti sosial untuk membuat studi yang rekomendasinya untuk mendukung kebijakan pemerintah.

Jika dilihat dari segi perkembangan ilmu sosial di Indonesia dari tahun 1970-an, sempat populer apa yang disebut teori modernisasi. Teori tersebut membayangkan bahwa masyarakat seperti Indonesia yang bekas jajahan, miskin, yang biasanya disebut Dunia Ketiga harus mengejar ketertinggalan. Ada keyakinan di sana bahwa perkembangan umat manusia itu sebetulnya sama saja: dari tradisional ke modern, dan yang perlu dilakukan oleh ilmuwan sosial adalah mencari pola-pola tersebut. Teori modernisasi di beberapa universitas mungkin masih dipelajari. Tetapi, teori tersebut umumnya sudah ketinggalan, ada salahnya, dan banyak bias-nya. Namun demikian, teori tersebut sempat dominan. Hal yang menarik dan penting untuk dicatat adalah bahwa teori modernisasi menjadi dominan di Indonesia dikarenakan tidak ada alternatifnya. Jika kita melihat tulisan orang di tahun 1970-an, hampir semua menganggap bahwa teori modernisasi adalah ilmu sosial itu sendiri. Jadi, ilmu sosial tidak terdiri atas macam-macam pendekatan, tetapi satu saja: teori modernisasi. Teori itulah yang diajarkan dan dipahami sebagai kebenaran.

Pertanyaannya kemudian, mengapa bisa sampai seperti itu? Mengapa bisa satu dari sekian banyak pendekatan dalam ilmu sosial dianggap sebagai ilmu sosial itu sendiri? Itu ada sejarahnya. Pada titik itulah pembahasan tentang sejarah teori menjadi sangat penting. Kita tahu di Indonesia ada peristiwa G30S/1965 dan pembasmian PKI (Partai Komunis Indonesia). Bersamaan dengan itu terjadi perubahan yang sangat mendasar di dalam kajian-kajian ilmu sosial. Banyak sekali orang yang ditangkap, tidak boleh berekspresi dan kemudian negara membuat pembatasan-pembatasan sampai pada tingkat yang tidak masuk akal. Dalam konteks itu tidak ada hubungan antara kebenaran dengan praktik pelarangan.

Pembatasan yang dilakukan Orde Baru sangat dalam dampaknya, termasuk di lingkungan universitas. Orang tidak mau mengajar teori-teori tertentu karena alasan keamanan. Jadi, perkembangan ilmu sosial di Indonesia memang sangat dikontrol oleh negara. Akibatnya adalah kita tidak pernah—paling tidak dalam ilmu sosial tahun 1970-an—mengenal wacana kelas. Di belahan lain di dunia orang berbicara tentang kelas. Tidak ada yang aneh dengan itu. Kelas itu sangat sentral. Namun, dalam percakapan sehari-hari di Indonesia hal itu praktis tidak dikenal. Ada semacam pengikisan mental (mental eraser) yang membuat orang tidak bisa berpikir tentang kelas. Itu berlangsung cukup lama.

Kelas mulai dibicarakan lagi awal 1980-an, ketika ada banyak orang Indonesia yang melanjutkan pendidikan di Amerika, di “dunia bebas”, pulang ke Indonesia dan kemudian mencoba mengembangkan apa yang mereka pelajari, seperti almarhum Farhan Bulkin, Dawam Raharjo dan Arief Budiman. Mereka mengembangkan apa yang mereka namakan ilmu sosial kritis atau ilmu sosial historis. Jurnal utamanya adalah Prisma. Itu pertama kalinya analisis kelas kembali ke Indonesia. Namun, analisis kelas yang berkembang waktu itu masih terbatas, dalam arti mereka menggunakan konsep kelas, tetapi fokus utamanya adalah mencari siapa subjek revolusioner; siapa agen yang bisa membawa perubahan di era Orde Baru. Diskusi tentang kelas waktu itu terkait dengan diskusi dalam rangka mencari siapa yang menjadi agen perubahan. Dari situ mulai dilihat mana kelas yang paling berkepentingan atas perubahan. Sebagian menyebutkan—mengikuti analisis Marxis dari Barat—adalah kelas pekerja (working class) atau buruh. Dari situlah kemudian muncul perhatian terhadap buruh dan orang pun menulis tentang buruh. Sebagian lainnya menganggap bahwa yang paling berkepentingan adalah kelas menengah. Diskusi itu berlangsung terus, dan terkait dengan usaha demokratisasi melawan Orde Baru.

Sampai kira-kira tahun 1990-an, isu kelas kembali menghilang, diganti oleh satu konsep yang sampai sekarang ada yaitu civil society. Istilah itu dikemukakan bermacam-macam, seperti civil society, masyarakat sipil, masyarakat madani. Tapi, intinya, civil society yang tidak jelas bentuknya itu dianggap sebagai agen perubahan. Ilmu sosial praktis didominasi oleh pembicaraan seperti itu, dengan pertanyaan dasar: siapa yang menjadi agen perubahan. Jadi, bisa dikatakan, analisis kelas—kalaupun dia muncul di era Orde baru—pada dasarnya dilakukan secara sambil lalu saja. Pembahasan tentang kelas bukan karena ada keinginan untuk memahami masyarakat secara lebih lengkap melalui perspektif kelas, melainkan berangkat dari kehendak untuk mencari aktor perubahan dalam iklim politik Orde Baru yang otoriter.

Pertanyaan selanjutnya dan lebih penting adalah: apa sebenarnya isi analisis kelas itu. Analisis kelas perlu kita bedakan. Jika orang memberi judul atau menggunakan kata kelas dalam tulisannya tidak berarti bahwa dia menggunakan analisis kelas. Orang yang sekalipun mengklaim bahwa dia menggunakan analisis kelas pun tidak dengan sendirinya dia betul-betul mengembangkan analisis kelas. Bisa saja dia hanya menggunakan retoriknya, jargonnya, istilah, tetapi dengan kerangka yang sama sekali lain dengan analisis kelas.

Di Indonesia yang paling terkenal berbicara tentang kelas adalah orang Australia, yakni Richard Robinson. Bukunya tahun 1986 sangat terkenal, Indonesia The Rise of Capital. Buku itu berisi tentang kemunculan kelas kapitalis di Indonesia. Analisis Robinson memperhatikan tumbuhnya orang-orang yang dia golongkan sebagai kelas kapitalis atau borjuasi. Ada borjuasi Cina, borjuasi pribumi, domestik, asing dan seterusnya. Dia membuat semacam pemetaan. Cara pemetaan seperti itulah yang paling popular. Kompas misalnya, pernah membuat survey di jaman Soeharto tentang pemetaan kelas menengah. Berdasarkan survey Kompas tercatat ada 18 kelas. Jadi, kelas dalam pengertian tersebut—seperti yang dipakai Robinson dan Kompas, dan orang-orang Prisma waktu itu—sebetulnya sama, semuanya ingin membuat klasifikasi masyarakat. Jadi, masyarakat hendak dilihat dalam kelas yang berbeda-berbeda. Kemudian dilihat ekspresi politiknya, gaya hidupnya dan berbagai macam kecenderungannya. Mereka melihat berbagai macam pola dari klasifikasi tersebut. Hal itu menarik, karena orang-orang tersebut menganggap bahwa ilmu sosial yang mereka kembangkan itu baru: dianggap sebagai jawaban terhadap ilmu sosialnya Orde Baru yang didominasi teori modernisasi.

Analisis yang mereka kembangkan sangat mirip dengan analisis kelas yang dikembangkan oleh PKI (Partai Komunis Indonesia). Bandingkan misalnya tulisan Aswab mahasin dengan Aidit tentang kelas menenagh, perbedaan tipis. Aswab bilang bahwa kelas menengah itu para kyai, guru madrasah, yang atribut sosialnya kuat di dalam masyarakat—memiliki pamor, nama baik dan semacamnya. Aidit pun menggunakan cara pembagian kelas seperti itu. Jadi, atribut sosial digunakan sebagai penanda batas-batas kelas. Bukan soal ekonomi yang merepa pakai untuk menandai kelas, tetapi juga soal perilaku sosial. PKI misalnya, pada jaman land reform awal 1960-an mengenal istilah tuan tanah baik dan tuan tanah jahat. Pada titik itu, bukan hanya posisi berdasarkan ekonomi yang dikembangkan, tetapi juga tentang bagaimana seseorang bersikap dan berperilaku. Jadi, secara metode dan juga metodologi ada kesamaan antara analisis kelasnya PKI dengan ilmu sosial historis/ilmu sosial kritis. Demikian juga Richard Robinson. Mereka yang membahas kelas waktu itu hampir semuanya masuk di dalam cara berpikir yang berusaha mengklasifikasi masyarakat, membagi masyarakat ke dalam kelas-kelas. Perbedaannya hanya pada apa yang membedakan kelas satu dengan kelas lainnya, sementara cara pandang, cara kerja dari teorinya sendiri itu sama.

Menurut saya analisis kelas tidak seperti itu. Analisis kelas bukan untuk menentukan kotak-kotak, karena analisis semacam itu akan sangat bermasalah secara teori maupun politik. Secara teori penjelasannya begini: ketika krisis terjadi tahun 1997 banyak buruh dipecat. Bukan hanya buruh, sampai level menejer rendahan yang posisinya di atas blue colar dipecat. Jadi masuk kelas apa mereka? Kebanyakan dari mereka menganggur. Menggunakan tabungan mereka dari pesangon sampai cukup lama, kemudian menjadi pedagang. Buruh, nasibnya lebih buruk lagi, tidak tentu mendapatkan pekerjaan. Mereka menjadi bagian yang sering disebut underclass, paria. Tetapi, ada pula yang lumayan, memiliki tabungan, kemudian membuka warung. Jadi, penyebaran dari orang-orang yang dipecat bermacam-macam.

Nah, jika kita memakai analisis kelas yang sifatnya klasifikasi, maka kita akan mengamati orang berpindah dari kelas satu ke kelas lain dalam kurun waktu yang relatif cepat. Dalam tulisan itu saya beri contoh kawan kerja saya sendiri. Dia kerja kantoran, setelah dipecat menjadi sopir taksi. Dia termasuk kelas buruh. Dari yang tadinya masuk kategori kelas menengah dalam beberapa hari jadi sopir taksi. Setelah menjadi sopir taksi selama tiga bulan, diberi modal oleh orang tuanya kemudian membuka warung. Jadilah dia borjuis kecil. Dari borjuis kecil, kemudian usahanya lumayan jalan sampai kemudian diambil alih istrinya karena mendapat pekerjaan lagi—yang posisinya kurang lebih sama dengan posisi dia awal. Jadi, posisinya kembali lagi ke awal menjadi bagian dari kelas menengah.

Jika setiap orang bisa berpindah-pindah kelas dalam kehidupannya yang relatif singkat—katakanlah dua sampai tiga tahun—lalu apa yang mau kita analisis? Itu artinya tidak ada yang namanya struktur. Kita tidak bisa bicara lagi tentang proses sosial yang panjang, apalagi bicara kecenderungan politik. Jadi, analisis kelas yang semacam itu—membuat klasifikasi kelas—sangat terbatas dan sangat bermasalah secara teoretis, karena menganggap kenyataan sosial itu mengikuti kategori-kategori yang kita miliki. Padahal sebaliknya, kita membuat kategori itu untuk lebih memahami kenyataan.

Di samping itu, analisis kelas model pengklasifikasian bermasalah pula secara politik. Dalam pengorganisasian misalnya, kita akan kesulitan menentukan kelompok sasaran, karena perpindahan orang dari satu kelas ke kelas lainnya begitu cepat. Dalam perburuhan misalnya, sekaran ini paling ruwet. Masuk pengorgasnisasian buruh, begitu buruhnya berubah menjadi pedagang—karena di-PHK atau kontraknya habisa—maka dia bukan lagi menjadi kelompok sasaran pengorganisasian. Hal seperti itu saat ini sudah menjadi norma, menjadi aturan, bukan lagi pengecualian. Fleksibilisasi pasar tenaga kerja membuat buruh tidak lagi seperti di jaman lalu bisa diprediksi keberadaannya di dalam pabrik selama 10, 15 sampai 20 tahun. Oleh sebab itu, analisis kelas model klasifikasi pasti akan kesulitan untuk memahami kenyataan pasar tenaga kerja yang fleksibel seperti sekarang. Lebih dari itu, untuk waktu ke depan, secara politik organisasi buruh akan kehilangan orang, karena sistem kontrak dan pergantian orang yang begitu cepat. Dengan kalimat lain, serikat buruh tidak bisa berkembang jika menggunakan cara berpikir semacam itu. Jadi, secara politik pengorganisasian masyarakat memiliki kelemahan mendasar jika menggunakan analisis klasifikasi kelas. Sayangnya, atau menariknya, cara pandang tersebut masih dominan.

Menghadapi kondisi tersebut, alternatifnya bagi saya sederhana saja. Sederhana bukan berarti yang paling benar. Menurut saya, kembali lagi saja ke awal: bagaimana analisis kelas itu untuk pertama kalinya berkembang. Untuk itu mau tidak mau kita harus kembali ke Karl Marx. Marx terlalu sering disalahpahami. Orang menganggap bahwa teori dia mengenai pertentangan proletariat dengan borjuis. Itu betul dan penting, tetapi cara pandang dia sangat lain dengan apa yang kemudian disebut Marxisme-Leninisme.

Dalam Marxisme-Leninisme cara pikir mereka sebenarnya agak mirip dengan lingkup ilmu sosial historis: membuat klasifikasi, kemudian dari situ kita menentukan perilaku politik berdasarkan pengklasifikasian tersebut. Masalah-masalah cara pandang semacam itu di lapangan politik cukup jelas terjadi di Uni Soviet, ketika Stalin menggasak Kulak. Cukup jelas pula di Cina. Banyak penangkapan di jaman Revolusi Kebudayaan di Cina. Alasan penangkapan karena borjuis. Kenapa dianggap borjuis, karena menimbun barang di rumahnya, dan itu haram. Namun, perlu dicatat bahwa pandangan tersebut bukan berasal dari Marx, tapi menurut aturan Partai Komunis Cina. Jadi, kita lihat bahwa cara pelabelan kelas itu bisa mematikan, karena itu sangat bermasalah secara politik.

Kembali ke Marx, bagaimana cara dia menganalisis hingga bisa sampai pada kesimpulan adanya kelas-kelas dalam masyarakat. Pembagian atau pemisahan kelas itu berangkat dari kajian dia mengenai kapitalisme. Itu yang perlu dicatat. Marx, menurut saya, bukan seperti filsuf atau semacam nabi yang bisa memberikan jawaban terhadap seluruh masalah di dunia. Yang paling penting dari Marx adalah cara dia melihat kapitalisme. Dari situ seluruh teorinya mengenai kelas dan segala macam mengalir. Namun, sebelum sampai ke sana kita harus paham terlebih dahulu bagaimana cara dia memahami kapitalisme, atau apa yang dia sebut kapitalisme.

Diskusi mengenai kapitalisme harus kembali kepada apa yang oleh Marxi disebut kapital. Apa sebetulnya modal itu, dan bagaimana modal itu berkembang. Untuk memulai penjelasan saya tidak akan bercerita tentang isi buku Das Kapital, tetapi uraian saya akan didasarkan pada itu. Pembahasan Marx tentang kapital dimulai dari apa yang disebut komoditas (barang dagangan). Di dalam usaha membuat barang dagangan—menjual, membuat barang untuk dijual—kita melalui satu fase. Kita memiliki sejumlah uang yang disimpan dalam proses produksi untuk menghasilkan uang yang lebih besar. Rumus dasarnya adalah:

M (Money) – C (Commodity) – M (Money)

Nah, mana yang disebut modal? Banyak orang seperti Robinson misalnya, menganggap modal adalah uang. Bagi dia kapitalisme dimulai ketika datangnya/masuknya aliran uang ke Indonesia—investasi. Oleh sebab itu, bagi dia momen yang paling penting dalam membicarakan kapital di Indonesia adalah ketika Orde Baru mengundang investor dari luar untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Bagi Marx, tidak demikian. Bukan soal uang yang penting. Uang memang penting, tapi bukan yang paling penting, karena yang penting adalah memahami proses M–C–M secara keseluruhan. Mengapa? Sebab, ada mesin tanpa ada tenaga kerja yang menjalankan mesin tidak akan menghasilkan apa-apa. Dengan kalimat lain, uang saja tidak cukup. Memiliki banyak uang tidak dengan sendirinya bisa menghasilkan proses produksi kapital. Apalagi—dan ini paling penting—di dalam suatu masyarakat di mana cara produksi kapitalis tidak merata.

Di sebagian kecil negara di dunia ini cara produksi non-kapitalis masih bertahan. Tetapi kebanyakan sekarang sudah disebut generalize, sudah secara umum kapitalis. Berproduksi di jaman sekarang lebih mudah daripada seratus tahun lalu. Jika membaca, misalnya saja penelitian tentang perkebunan yang ditulis Ann Stoler atau tulisan-tulisan Benjamin White, akan kelihatan bahwa pada masa lalu yang menjadi masalah di perkebunan adalah bagaimana caranya memobilisasi tenaga kerja. Mengapa perkebunan di Sumatera Timur banyak Jawanya, banyak orang Cina, itu karena tidak ada orang. Orang-orang Batak pada saat itu masih relatif bisa menjaga diri untuk tidak terlibat di dalam proses produksi kapitalis. Jadi, ada satu proses yang membuat orang kemudian mau bekerja di dalam cara produksi kapitalis yang tidak menyenangkan itu. Dan itulah yang menurut Marx adalah titik awal yang penting untuk dianalisis sebelum kita bisa memahami gerak dari M–C–M. Kebanyakan orang berbicara turunan-turunan. Saya dalam tulisan itu antara lain berbicara tentang apa yang disebut akumulasi primitif (akumulasi asali): awal modal mulai berkembang.

Awal mula modal itu bukan karena ada uang, melainkan karena ada (1) uang, (2) alat produksi dan (3) tenaga kerja yang bisa digerakkan untuk berproduksi. Dan jika kita melihat sejarah dimanapun di dunia ini, proses tersebut penuh masalah, sangat berdarah, dan penuh kekerasan. Dalam buku Naomi Klein yang baru misalnya, dia berbicara tentang Shock Doctrine: The Rise of Disaster Capitalism—kapitalisme bencana. Menurut analisis dia, setiap bencana sekarang diikuti dengan ekspansi kapitalisme. Dia memberi contoh yang sangat bagus. Ketika New Orleans terkena bencana, para pejabat di sana sudah memiliki rencana—pada saat korban bencana belum tahu bagaimana kehidupan mereka setelah bencana—pembangunan yang sesuai dengan logika pasar. Sistem pendidikan di New Orleans sangat terkenal karena serikat buruhnya kuat, mempertahankan pendidikan publik dan sangat sedikit pendidikan swasta. Karena bencana alam, seluruh gurunya dipecat. Jumlah sekolah negeri dan swasta pun berbalik: dari yang awalnya jumlah sekolah swasta hanya 7 menjadi 30, dan sekolah publik yang tadinya 30 menjadi 2. Kita bisa melihat bahwa ternyata banyak hal, termasuk bencana alam bisa menjadi titik tolak bagi ekspansi kapital.

Berdasarkan rumus M–C–M, lalu di mana tempat kelas itu? Tempat kelas adalah ketika proses M–C–M mulai bergerak. Jadi, bisa dikatakan bahwa proses pembentukkan kelas itu, jauh lebih menentukan daripada pengklasifikasian kelas. Class formation itu jauh lebih penting daripada memotret kelas (klasifikasi). Karena itulah analisis kelas selalu historis. Analisis kelas tidak mungkin membuat potret tentang masyarakat, karena cara berpikirnya bukan memotret. Jika sekarang kita berbicara tentang modal, maka gerak M–C–M secara keseluruhan itulah yang disebut modal: gerak dari uang menjadi komoditi menjadi uang. Itulah yang disebut capital. Jadi, kapital itu bukan benda, dan itulah hal paling kunci yang dipikirkan oleh Marx ketika dia berbicara tentang apa yang disebut fetisisme (pemberhalaan). Kapital itu diberhalakan, dianggap itulah penentu dari segalanya. Jadi, sesuatu yang merupakan proses, oleh orang kemudian diambil unsur-unsurnya dan dianggap itulah intinya. Jadi jika sekarang misalnya kita mendengar pernyataan, “modal akan masuk”, sudah harus ada di dalam kepala kita, asumsinya, lahan yang tersedia untuk menjalankan produksi kapitalis juga sudah ada. Akumulasi modal dengan sendirinya menjadi akumulasi tenaga kerja. Kalau kita melakukan akumulasi modal, uang kita bertambah banyak, bersamaan dengan itu, orang yang bekerja di dalam cara produksi kapitalis semakin banyak pula, dan di situlah pemisahan kelas terjadi. Itu artinya, pemisahan kelas bukan karena adanya perbedaan jenis pekerjaan. Oleh sebab itu, tidak mungkin membuat analisis kelas berdasarkan sensus. Dengan itu seorang peneliti tidak akan memperoleh proses, melainkan potret, dan potret tidak akan bisa dipakai untuk memahami situasi kelas di dalam suatu masyarakat.

Jika pembahasan kita persingkat, maka pertanyaannya, apa kemudian implikasinya? Implikasinya secara teoretik adalah sulit bagi kita membuat penelitian yang isolasi subjeknya di dalam kategori kelas tertentu. Contohnya bisa kita lihat dalam isu buruh. Siapa sih kelas buruh itu? Kelas buruh adalah mereka yang masih bekerja di pabrik. Itu definisi buruh menurut UU Ketenagakerjaan, bukan menurut analisis kelas. Kadang-kadang kita berpikir sangat legalistik. Kategori-kategori sosial kita ambil dari hukum, padahal itu adalah dua hal yang berbeda, bahkan kadang-kadang hukum dibuat untuk menutupi kenyataan sosial.

Implikasi teoretis dari cara pandang yang melihat kelas secara lebih historis, pertama, harus melihat dia (buruh) senantiasa dalam sebuah proses, artinya harus tahu mengapa dia sampai pada keadaan seperi itu; dan kedua, sadar bahwa kategori itu tidak mutlak. Dengan demikian, jika kita bicara soal konsep, apa konsep paling tepat untuk menamai, katakanlah memberi label pada kelompok-kelompok sosial yang kita lihat, menurut saya, harus selalu dimengerti bahwa kelompok-kelompok sosial itu terbagi-bagi, terbelah-belah dalam proses tertentu. Konsep hanya berguna sejauh dia memang bisa menangkap kenyataan itu, bukan kenyataan yang dipaksa mengikuti konsep.

Secara politik, seperti yang sudah kita lihat di muka, sulit untuk membangun gerakan buruh dengan cara pengklasifikasian kelas. Secara politik, sangat sulit bila dalam membangun gerakan buruh atau tani misalnua harus mengikuti metode klasifikasi. Sebaliknya, jika menggunakan metode proses maka kita bisa membuat organisasi yang jauh lebih terbuka. Karena itu, mungkin serikat buruh lama—yang berpatokan pada tenaga kerja tetap—bukan lagi model yang menjanjikan untuk sekarang. Harus mulai berpikir melakukan pengorganisasian di dalam kominitas. Dan seluruh pemisahan yang selama ini kita buat, seperti pekerja, penganggur, dan macam-macam harus diperiksa ulang, agar pengorganisasian politik bisa efektif. Jika terus bertahan pada status yang sifatnya legal, maka serikat buruh hanya akan mengurus orangorang- yang bekerja di pabrik. Implikasinya, serikat buruh tidak akan pernah menjadi besar, karena buruh sekarang tidak berusia lama di dalam pabrik.

Dengan demikian, seluruh logika pengorganisasian serikat buruh yang bertumpu pada pemahaman lama mengenai kapitalisme sudah saatnya dipikir ulang. Karya asli Marx membuka pintu yang jauh lebih solid mengenai kapitalisme daripada ilmu sosial historis maupun Marxisme-Leninisme-nya PKI. Marxisme-Leninisme-nya PKI sederhana, karena itu pelabelan: tuan tanah baik, tuan tanah jahat dan seterusnya. Tidak disadari bahwa dalam kenyataan ada dinamika, posisi sosial seseorang bisa naik dan turun. Dan ketika membuat organisasi berdasarkan klasifikasi semacam itu seringkali gagal. Hal yang menark adalah bahwa dalam sejarah politik, gerakan-gerakan yang mencoba mengorganisasi berdasarkan kelas selalu terbalik dengan teorinya. Orang-orang yang mendukung analisis semacam itu justru datang dari mereka yang tidak, bukan dari mereka yang paling tidak diuntungkan. PKI dan BTI misalnya, petani sedang, bukan buruh tani. Buruh tani malah cenderung mengikuti tuan tanah baik dan tuan tanah jahat yang di atasnya. Jadi, sangat terkait antara upaya untuk memobilisasi politik dengan cara kita memahami masyarakat dengan analisis kelas maupun bukan.

Terakhir sebagai penutup, kembali ke dalam sejarah teori ilmu sosial, sekarang sebetulnya dunia akademik dan dunia aktivis jauh lebih terbuka. Sehingga agak sulit untuk mengatakan satu paradigma dominan dan yang lainnya tidak. Ada pertandingan dan kompetisi didalamnya. Pertanyaannya, apakah analisis kelas sekarang masih relevan? Ada yang menyebutkan sudah tidak relevan, karena kapitalisme sekarang sudah jauh berkembang dari kapitalisme yang menjadi perhatian Marx. Memang betul, tapi baik kapitalisme dulu maupun sekarang berdiri di atas prinsip yang sama: M-C-M. Pada titik itu tidak ada perubahan. Tidak ada perubahan yang terlalu istimewa dari cara kerja modal: semuanya untuk akumulasi. Bahwa ada banyak ragam atau cara akumulasi modal yang lain, itu betul, tetapi prinsip dasar yang menghidupinya tetap sama.

Sejauh mana analisis kelas berguna atau tidak? Kalau saya melihat, analisis kelas masih sangat berguna sebagai titik awal untuk memahami kapitalisme yang kompleks. Bagaimanapun juga, setuju atau tidak, suka atau tidak, jika kita hendak menganalisis sesuatu harus dimulai dari satu titik. Kita tidak bisa memulai dari chaos—menjelaskan segala hal. Jika ingin membuat analisis yang serius harus ada titik berangkat. Tidak masalah jika di akhir perjalanan melakukan analisis kita melihat bahwa apa yang kita lihat di awal ternyata tidak sehebat yang kita duga sehingga banyak revisi. Itu tidak masalah, karena dengan cara itulah teori berkembang. Dan di dalam semangat menghidupkan teori, analisis dan politiknya sekaligus, saya kira analisis kelas tidak ada matinya. Dia akan terus berguna di dalam rangka menghidupkan seluruh perdebatan di dalam (1) politik, yakni bagaimana caranya menghasilkan politik yang efektif; dan (2) di dalam teori, yakni bagaimana kita lebih bisa mengorganisisasi kenyataan di dalam sistem pengetahuan kita—tergantung di mana kita berdiri dan apa yang kita kerjakan. Tapi jelas, dia sangat berguna. Sengaja saya tutup dengan provokasi berhadap ada reaksi, sehingga terjadi perdebatan.

Catatan

[*] Tulisan ini merupakan transkrip presentasi yang disampaikan Hilmar Farid dalam Diskusi Bulanan Akatiga dengan tema Analisis Kelas dan Ilmu Sosial Indonesia, 05 November 2007.