Senin, 01 September 2008

Analisis Kelas

Sekilas tentang Analisis Kelas dan Relevansinya[*]

Pembicaraan hari ini soal analisis kelas. Tapi, sebelum sampai ke sana, saya akan menyambung apa yang tadi disebut bahwa George Aditjondro misalnya menyatakan bahwa jangan hanya analisis kelas, kita juga harus mengerti soal etnis, jender. Peringatan semacam itu disampaikan, karena orang yang menggunakan analisis kelas menganggap bahwa dimensi kelas itu penting—kalau bukan yang paling penting—di dalam kenyataan sosial. Saya tidak termasuk jenis itu. Bagi saya, analisis kelas, jender, etnis, dan segala macam adalah cara kita mengorganisasi pengetahuan. Kita lihat suatu masyarakat, dimensi apa yang kita mau perhatikan: bisa kelas, bisa jender, bisa apapun. Dalam kesempatan yang satu dimensi kelas sangat menonjol dibanding dimensi yang lain, sementara dalam kesempatan lain tidak.

Jadi, analisis kelas bukan untuk dihadap-hadapkan, dipertentangkan dengan macam-macam pendekatan atau analisis yang lain. Memang ada kekhususan dari analisis kelas: membayangkan bahwa gerak sejarah dari masa lalu sampai sekarang aspek kelas sangat menonjol. Penting untuk dicatat bahwa aspek tersebut bukan yang paling penting, tetapi sangat menonjol, dan banyak menentukan dimensi kehidupan yang lain. Kurang lebih itu awalan untuk membicarakan analisis kelas. Analisis kelas merupakan satu dari sekian banyak cara untuk melihat masyarakat.

Dalam tulisan berjudul “The Class Question in Indonesian Social Science” (Vedi R. Hadiz and Daniel Dhakidae, Social Sciences and Power in Indonesia, p. 167—196) ada dua hal yang dibahas. Pertama tentang sejarah teori, karena tujuan dari tulisan itu adalah berbicara tentang hubungan ilmu sosial dengan kekuasaan. Hubungan itu ternyata tidak mulus. Kita tahu selama Orde Baru banyak ilmuwan sosial dipekerjakan oleh pemerintah untuk membuat proyek-proyek penelitian yang kesimpulannya akan mendukung kebijakan pemerintah. Sampai sekarang hal itu masih ada. Departemen-departemen merekrut peneliti-peneliti sosial untuk membuat studi yang rekomendasinya untuk mendukung kebijakan pemerintah.

Jika dilihat dari segi perkembangan ilmu sosial di Indonesia dari tahun 1970-an, sempat populer apa yang disebut teori modernisasi. Teori tersebut membayangkan bahwa masyarakat seperti Indonesia yang bekas jajahan, miskin, yang biasanya disebut Dunia Ketiga harus mengejar ketertinggalan. Ada keyakinan di sana bahwa perkembangan umat manusia itu sebetulnya sama saja: dari tradisional ke modern, dan yang perlu dilakukan oleh ilmuwan sosial adalah mencari pola-pola tersebut. Teori modernisasi di beberapa universitas mungkin masih dipelajari. Tetapi, teori tersebut umumnya sudah ketinggalan, ada salahnya, dan banyak bias-nya. Namun demikian, teori tersebut sempat dominan. Hal yang menarik dan penting untuk dicatat adalah bahwa teori modernisasi menjadi dominan di Indonesia dikarenakan tidak ada alternatifnya. Jika kita melihat tulisan orang di tahun 1970-an, hampir semua menganggap bahwa teori modernisasi adalah ilmu sosial itu sendiri. Jadi, ilmu sosial tidak terdiri atas macam-macam pendekatan, tetapi satu saja: teori modernisasi. Teori itulah yang diajarkan dan dipahami sebagai kebenaran.

Pertanyaannya kemudian, mengapa bisa sampai seperti itu? Mengapa bisa satu dari sekian banyak pendekatan dalam ilmu sosial dianggap sebagai ilmu sosial itu sendiri? Itu ada sejarahnya. Pada titik itulah pembahasan tentang sejarah teori menjadi sangat penting. Kita tahu di Indonesia ada peristiwa G30S/1965 dan pembasmian PKI (Partai Komunis Indonesia). Bersamaan dengan itu terjadi perubahan yang sangat mendasar di dalam kajian-kajian ilmu sosial. Banyak sekali orang yang ditangkap, tidak boleh berekspresi dan kemudian negara membuat pembatasan-pembatasan sampai pada tingkat yang tidak masuk akal. Dalam konteks itu tidak ada hubungan antara kebenaran dengan praktik pelarangan.

Pembatasan yang dilakukan Orde Baru sangat dalam dampaknya, termasuk di lingkungan universitas. Orang tidak mau mengajar teori-teori tertentu karena alasan keamanan. Jadi, perkembangan ilmu sosial di Indonesia memang sangat dikontrol oleh negara. Akibatnya adalah kita tidak pernah—paling tidak dalam ilmu sosial tahun 1970-an—mengenal wacana kelas. Di belahan lain di dunia orang berbicara tentang kelas. Tidak ada yang aneh dengan itu. Kelas itu sangat sentral. Namun, dalam percakapan sehari-hari di Indonesia hal itu praktis tidak dikenal. Ada semacam pengikisan mental (mental eraser) yang membuat orang tidak bisa berpikir tentang kelas. Itu berlangsung cukup lama.

Kelas mulai dibicarakan lagi awal 1980-an, ketika ada banyak orang Indonesia yang melanjutkan pendidikan di Amerika, di “dunia bebas”, pulang ke Indonesia dan kemudian mencoba mengembangkan apa yang mereka pelajari, seperti almarhum Farhan Bulkin, Dawam Raharjo dan Arief Budiman. Mereka mengembangkan apa yang mereka namakan ilmu sosial kritis atau ilmu sosial historis. Jurnal utamanya adalah Prisma. Itu pertama kalinya analisis kelas kembali ke Indonesia. Namun, analisis kelas yang berkembang waktu itu masih terbatas, dalam arti mereka menggunakan konsep kelas, tetapi fokus utamanya adalah mencari siapa subjek revolusioner; siapa agen yang bisa membawa perubahan di era Orde Baru. Diskusi tentang kelas waktu itu terkait dengan diskusi dalam rangka mencari siapa yang menjadi agen perubahan. Dari situ mulai dilihat mana kelas yang paling berkepentingan atas perubahan. Sebagian menyebutkan—mengikuti analisis Marxis dari Barat—adalah kelas pekerja (working class) atau buruh. Dari situlah kemudian muncul perhatian terhadap buruh dan orang pun menulis tentang buruh. Sebagian lainnya menganggap bahwa yang paling berkepentingan adalah kelas menengah. Diskusi itu berlangsung terus, dan terkait dengan usaha demokratisasi melawan Orde Baru.

Sampai kira-kira tahun 1990-an, isu kelas kembali menghilang, diganti oleh satu konsep yang sampai sekarang ada yaitu civil society. Istilah itu dikemukakan bermacam-macam, seperti civil society, masyarakat sipil, masyarakat madani. Tapi, intinya, civil society yang tidak jelas bentuknya itu dianggap sebagai agen perubahan. Ilmu sosial praktis didominasi oleh pembicaraan seperti itu, dengan pertanyaan dasar: siapa yang menjadi agen perubahan. Jadi, bisa dikatakan, analisis kelas—kalaupun dia muncul di era Orde baru—pada dasarnya dilakukan secara sambil lalu saja. Pembahasan tentang kelas bukan karena ada keinginan untuk memahami masyarakat secara lebih lengkap melalui perspektif kelas, melainkan berangkat dari kehendak untuk mencari aktor perubahan dalam iklim politik Orde Baru yang otoriter.

Pertanyaan selanjutnya dan lebih penting adalah: apa sebenarnya isi analisis kelas itu. Analisis kelas perlu kita bedakan. Jika orang memberi judul atau menggunakan kata kelas dalam tulisannya tidak berarti bahwa dia menggunakan analisis kelas. Orang yang sekalipun mengklaim bahwa dia menggunakan analisis kelas pun tidak dengan sendirinya dia betul-betul mengembangkan analisis kelas. Bisa saja dia hanya menggunakan retoriknya, jargonnya, istilah, tetapi dengan kerangka yang sama sekali lain dengan analisis kelas.

Di Indonesia yang paling terkenal berbicara tentang kelas adalah orang Australia, yakni Richard Robinson. Bukunya tahun 1986 sangat terkenal, Indonesia The Rise of Capital. Buku itu berisi tentang kemunculan kelas kapitalis di Indonesia. Analisis Robinson memperhatikan tumbuhnya orang-orang yang dia golongkan sebagai kelas kapitalis atau borjuasi. Ada borjuasi Cina, borjuasi pribumi, domestik, asing dan seterusnya. Dia membuat semacam pemetaan. Cara pemetaan seperti itulah yang paling popular. Kompas misalnya, pernah membuat survey di jaman Soeharto tentang pemetaan kelas menengah. Berdasarkan survey Kompas tercatat ada 18 kelas. Jadi, kelas dalam pengertian tersebut—seperti yang dipakai Robinson dan Kompas, dan orang-orang Prisma waktu itu—sebetulnya sama, semuanya ingin membuat klasifikasi masyarakat. Jadi, masyarakat hendak dilihat dalam kelas yang berbeda-berbeda. Kemudian dilihat ekspresi politiknya, gaya hidupnya dan berbagai macam kecenderungannya. Mereka melihat berbagai macam pola dari klasifikasi tersebut. Hal itu menarik, karena orang-orang tersebut menganggap bahwa ilmu sosial yang mereka kembangkan itu baru: dianggap sebagai jawaban terhadap ilmu sosialnya Orde Baru yang didominasi teori modernisasi.

Analisis yang mereka kembangkan sangat mirip dengan analisis kelas yang dikembangkan oleh PKI (Partai Komunis Indonesia). Bandingkan misalnya tulisan Aswab mahasin dengan Aidit tentang kelas menenagh, perbedaan tipis. Aswab bilang bahwa kelas menengah itu para kyai, guru madrasah, yang atribut sosialnya kuat di dalam masyarakat—memiliki pamor, nama baik dan semacamnya. Aidit pun menggunakan cara pembagian kelas seperti itu. Jadi, atribut sosial digunakan sebagai penanda batas-batas kelas. Bukan soal ekonomi yang merepa pakai untuk menandai kelas, tetapi juga soal perilaku sosial. PKI misalnya, pada jaman land reform awal 1960-an mengenal istilah tuan tanah baik dan tuan tanah jahat. Pada titik itu, bukan hanya posisi berdasarkan ekonomi yang dikembangkan, tetapi juga tentang bagaimana seseorang bersikap dan berperilaku. Jadi, secara metode dan juga metodologi ada kesamaan antara analisis kelasnya PKI dengan ilmu sosial historis/ilmu sosial kritis. Demikian juga Richard Robinson. Mereka yang membahas kelas waktu itu hampir semuanya masuk di dalam cara berpikir yang berusaha mengklasifikasi masyarakat, membagi masyarakat ke dalam kelas-kelas. Perbedaannya hanya pada apa yang membedakan kelas satu dengan kelas lainnya, sementara cara pandang, cara kerja dari teorinya sendiri itu sama.

Menurut saya analisis kelas tidak seperti itu. Analisis kelas bukan untuk menentukan kotak-kotak, karena analisis semacam itu akan sangat bermasalah secara teori maupun politik. Secara teori penjelasannya begini: ketika krisis terjadi tahun 1997 banyak buruh dipecat. Bukan hanya buruh, sampai level menejer rendahan yang posisinya di atas blue colar dipecat. Jadi masuk kelas apa mereka? Kebanyakan dari mereka menganggur. Menggunakan tabungan mereka dari pesangon sampai cukup lama, kemudian menjadi pedagang. Buruh, nasibnya lebih buruk lagi, tidak tentu mendapatkan pekerjaan. Mereka menjadi bagian yang sering disebut underclass, paria. Tetapi, ada pula yang lumayan, memiliki tabungan, kemudian membuka warung. Jadi, penyebaran dari orang-orang yang dipecat bermacam-macam.

Nah, jika kita memakai analisis kelas yang sifatnya klasifikasi, maka kita akan mengamati orang berpindah dari kelas satu ke kelas lain dalam kurun waktu yang relatif cepat. Dalam tulisan itu saya beri contoh kawan kerja saya sendiri. Dia kerja kantoran, setelah dipecat menjadi sopir taksi. Dia termasuk kelas buruh. Dari yang tadinya masuk kategori kelas menengah dalam beberapa hari jadi sopir taksi. Setelah menjadi sopir taksi selama tiga bulan, diberi modal oleh orang tuanya kemudian membuka warung. Jadilah dia borjuis kecil. Dari borjuis kecil, kemudian usahanya lumayan jalan sampai kemudian diambil alih istrinya karena mendapat pekerjaan lagi—yang posisinya kurang lebih sama dengan posisi dia awal. Jadi, posisinya kembali lagi ke awal menjadi bagian dari kelas menengah.

Jika setiap orang bisa berpindah-pindah kelas dalam kehidupannya yang relatif singkat—katakanlah dua sampai tiga tahun—lalu apa yang mau kita analisis? Itu artinya tidak ada yang namanya struktur. Kita tidak bisa bicara lagi tentang proses sosial yang panjang, apalagi bicara kecenderungan politik. Jadi, analisis kelas yang semacam itu—membuat klasifikasi kelas—sangat terbatas dan sangat bermasalah secara teoretis, karena menganggap kenyataan sosial itu mengikuti kategori-kategori yang kita miliki. Padahal sebaliknya, kita membuat kategori itu untuk lebih memahami kenyataan.

Di samping itu, analisis kelas model pengklasifikasian bermasalah pula secara politik. Dalam pengorganisasian misalnya, kita akan kesulitan menentukan kelompok sasaran, karena perpindahan orang dari satu kelas ke kelas lainnya begitu cepat. Dalam perburuhan misalnya, sekaran ini paling ruwet. Masuk pengorgasnisasian buruh, begitu buruhnya berubah menjadi pedagang—karena di-PHK atau kontraknya habisa—maka dia bukan lagi menjadi kelompok sasaran pengorganisasian. Hal seperti itu saat ini sudah menjadi norma, menjadi aturan, bukan lagi pengecualian. Fleksibilisasi pasar tenaga kerja membuat buruh tidak lagi seperti di jaman lalu bisa diprediksi keberadaannya di dalam pabrik selama 10, 15 sampai 20 tahun. Oleh sebab itu, analisis kelas model klasifikasi pasti akan kesulitan untuk memahami kenyataan pasar tenaga kerja yang fleksibel seperti sekarang. Lebih dari itu, untuk waktu ke depan, secara politik organisasi buruh akan kehilangan orang, karena sistem kontrak dan pergantian orang yang begitu cepat. Dengan kalimat lain, serikat buruh tidak bisa berkembang jika menggunakan cara berpikir semacam itu. Jadi, secara politik pengorganisasian masyarakat memiliki kelemahan mendasar jika menggunakan analisis klasifikasi kelas. Sayangnya, atau menariknya, cara pandang tersebut masih dominan.

Menghadapi kondisi tersebut, alternatifnya bagi saya sederhana saja. Sederhana bukan berarti yang paling benar. Menurut saya, kembali lagi saja ke awal: bagaimana analisis kelas itu untuk pertama kalinya berkembang. Untuk itu mau tidak mau kita harus kembali ke Karl Marx. Marx terlalu sering disalahpahami. Orang menganggap bahwa teori dia mengenai pertentangan proletariat dengan borjuis. Itu betul dan penting, tetapi cara pandang dia sangat lain dengan apa yang kemudian disebut Marxisme-Leninisme.

Dalam Marxisme-Leninisme cara pikir mereka sebenarnya agak mirip dengan lingkup ilmu sosial historis: membuat klasifikasi, kemudian dari situ kita menentukan perilaku politik berdasarkan pengklasifikasian tersebut. Masalah-masalah cara pandang semacam itu di lapangan politik cukup jelas terjadi di Uni Soviet, ketika Stalin menggasak Kulak. Cukup jelas pula di Cina. Banyak penangkapan di jaman Revolusi Kebudayaan di Cina. Alasan penangkapan karena borjuis. Kenapa dianggap borjuis, karena menimbun barang di rumahnya, dan itu haram. Namun, perlu dicatat bahwa pandangan tersebut bukan berasal dari Marx, tapi menurut aturan Partai Komunis Cina. Jadi, kita lihat bahwa cara pelabelan kelas itu bisa mematikan, karena itu sangat bermasalah secara politik.

Kembali ke Marx, bagaimana cara dia menganalisis hingga bisa sampai pada kesimpulan adanya kelas-kelas dalam masyarakat. Pembagian atau pemisahan kelas itu berangkat dari kajian dia mengenai kapitalisme. Itu yang perlu dicatat. Marx, menurut saya, bukan seperti filsuf atau semacam nabi yang bisa memberikan jawaban terhadap seluruh masalah di dunia. Yang paling penting dari Marx adalah cara dia melihat kapitalisme. Dari situ seluruh teorinya mengenai kelas dan segala macam mengalir. Namun, sebelum sampai ke sana kita harus paham terlebih dahulu bagaimana cara dia memahami kapitalisme, atau apa yang dia sebut kapitalisme.

Diskusi mengenai kapitalisme harus kembali kepada apa yang oleh Marxi disebut kapital. Apa sebetulnya modal itu, dan bagaimana modal itu berkembang. Untuk memulai penjelasan saya tidak akan bercerita tentang isi buku Das Kapital, tetapi uraian saya akan didasarkan pada itu. Pembahasan Marx tentang kapital dimulai dari apa yang disebut komoditas (barang dagangan). Di dalam usaha membuat barang dagangan—menjual, membuat barang untuk dijual—kita melalui satu fase. Kita memiliki sejumlah uang yang disimpan dalam proses produksi untuk menghasilkan uang yang lebih besar. Rumus dasarnya adalah:

M (Money) – C (Commodity) – M (Money)

Nah, mana yang disebut modal? Banyak orang seperti Robinson misalnya, menganggap modal adalah uang. Bagi dia kapitalisme dimulai ketika datangnya/masuknya aliran uang ke Indonesia—investasi. Oleh sebab itu, bagi dia momen yang paling penting dalam membicarakan kapital di Indonesia adalah ketika Orde Baru mengundang investor dari luar untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Bagi Marx, tidak demikian. Bukan soal uang yang penting. Uang memang penting, tapi bukan yang paling penting, karena yang penting adalah memahami proses M–C–M secara keseluruhan. Mengapa? Sebab, ada mesin tanpa ada tenaga kerja yang menjalankan mesin tidak akan menghasilkan apa-apa. Dengan kalimat lain, uang saja tidak cukup. Memiliki banyak uang tidak dengan sendirinya bisa menghasilkan proses produksi kapital. Apalagi—dan ini paling penting—di dalam suatu masyarakat di mana cara produksi kapitalis tidak merata.

Di sebagian kecil negara di dunia ini cara produksi non-kapitalis masih bertahan. Tetapi kebanyakan sekarang sudah disebut generalize, sudah secara umum kapitalis. Berproduksi di jaman sekarang lebih mudah daripada seratus tahun lalu. Jika membaca, misalnya saja penelitian tentang perkebunan yang ditulis Ann Stoler atau tulisan-tulisan Benjamin White, akan kelihatan bahwa pada masa lalu yang menjadi masalah di perkebunan adalah bagaimana caranya memobilisasi tenaga kerja. Mengapa perkebunan di Sumatera Timur banyak Jawanya, banyak orang Cina, itu karena tidak ada orang. Orang-orang Batak pada saat itu masih relatif bisa menjaga diri untuk tidak terlibat di dalam proses produksi kapitalis. Jadi, ada satu proses yang membuat orang kemudian mau bekerja di dalam cara produksi kapitalis yang tidak menyenangkan itu. Dan itulah yang menurut Marx adalah titik awal yang penting untuk dianalisis sebelum kita bisa memahami gerak dari M–C–M. Kebanyakan orang berbicara turunan-turunan. Saya dalam tulisan itu antara lain berbicara tentang apa yang disebut akumulasi primitif (akumulasi asali): awal modal mulai berkembang.

Awal mula modal itu bukan karena ada uang, melainkan karena ada (1) uang, (2) alat produksi dan (3) tenaga kerja yang bisa digerakkan untuk berproduksi. Dan jika kita melihat sejarah dimanapun di dunia ini, proses tersebut penuh masalah, sangat berdarah, dan penuh kekerasan. Dalam buku Naomi Klein yang baru misalnya, dia berbicara tentang Shock Doctrine: The Rise of Disaster Capitalism—kapitalisme bencana. Menurut analisis dia, setiap bencana sekarang diikuti dengan ekspansi kapitalisme. Dia memberi contoh yang sangat bagus. Ketika New Orleans terkena bencana, para pejabat di sana sudah memiliki rencana—pada saat korban bencana belum tahu bagaimana kehidupan mereka setelah bencana—pembangunan yang sesuai dengan logika pasar. Sistem pendidikan di New Orleans sangat terkenal karena serikat buruhnya kuat, mempertahankan pendidikan publik dan sangat sedikit pendidikan swasta. Karena bencana alam, seluruh gurunya dipecat. Jumlah sekolah negeri dan swasta pun berbalik: dari yang awalnya jumlah sekolah swasta hanya 7 menjadi 30, dan sekolah publik yang tadinya 30 menjadi 2. Kita bisa melihat bahwa ternyata banyak hal, termasuk bencana alam bisa menjadi titik tolak bagi ekspansi kapital.

Berdasarkan rumus M–C–M, lalu di mana tempat kelas itu? Tempat kelas adalah ketika proses M–C–M mulai bergerak. Jadi, bisa dikatakan bahwa proses pembentukkan kelas itu, jauh lebih menentukan daripada pengklasifikasian kelas. Class formation itu jauh lebih penting daripada memotret kelas (klasifikasi). Karena itulah analisis kelas selalu historis. Analisis kelas tidak mungkin membuat potret tentang masyarakat, karena cara berpikirnya bukan memotret. Jika sekarang kita berbicara tentang modal, maka gerak M–C–M secara keseluruhan itulah yang disebut modal: gerak dari uang menjadi komoditi menjadi uang. Itulah yang disebut capital. Jadi, kapital itu bukan benda, dan itulah hal paling kunci yang dipikirkan oleh Marx ketika dia berbicara tentang apa yang disebut fetisisme (pemberhalaan). Kapital itu diberhalakan, dianggap itulah penentu dari segalanya. Jadi, sesuatu yang merupakan proses, oleh orang kemudian diambil unsur-unsurnya dan dianggap itulah intinya. Jadi jika sekarang misalnya kita mendengar pernyataan, “modal akan masuk”, sudah harus ada di dalam kepala kita, asumsinya, lahan yang tersedia untuk menjalankan produksi kapitalis juga sudah ada. Akumulasi modal dengan sendirinya menjadi akumulasi tenaga kerja. Kalau kita melakukan akumulasi modal, uang kita bertambah banyak, bersamaan dengan itu, orang yang bekerja di dalam cara produksi kapitalis semakin banyak pula, dan di situlah pemisahan kelas terjadi. Itu artinya, pemisahan kelas bukan karena adanya perbedaan jenis pekerjaan. Oleh sebab itu, tidak mungkin membuat analisis kelas berdasarkan sensus. Dengan itu seorang peneliti tidak akan memperoleh proses, melainkan potret, dan potret tidak akan bisa dipakai untuk memahami situasi kelas di dalam suatu masyarakat.

Jika pembahasan kita persingkat, maka pertanyaannya, apa kemudian implikasinya? Implikasinya secara teoretik adalah sulit bagi kita membuat penelitian yang isolasi subjeknya di dalam kategori kelas tertentu. Contohnya bisa kita lihat dalam isu buruh. Siapa sih kelas buruh itu? Kelas buruh adalah mereka yang masih bekerja di pabrik. Itu definisi buruh menurut UU Ketenagakerjaan, bukan menurut analisis kelas. Kadang-kadang kita berpikir sangat legalistik. Kategori-kategori sosial kita ambil dari hukum, padahal itu adalah dua hal yang berbeda, bahkan kadang-kadang hukum dibuat untuk menutupi kenyataan sosial.

Implikasi teoretis dari cara pandang yang melihat kelas secara lebih historis, pertama, harus melihat dia (buruh) senantiasa dalam sebuah proses, artinya harus tahu mengapa dia sampai pada keadaan seperi itu; dan kedua, sadar bahwa kategori itu tidak mutlak. Dengan demikian, jika kita bicara soal konsep, apa konsep paling tepat untuk menamai, katakanlah memberi label pada kelompok-kelompok sosial yang kita lihat, menurut saya, harus selalu dimengerti bahwa kelompok-kelompok sosial itu terbagi-bagi, terbelah-belah dalam proses tertentu. Konsep hanya berguna sejauh dia memang bisa menangkap kenyataan itu, bukan kenyataan yang dipaksa mengikuti konsep.

Secara politik, seperti yang sudah kita lihat di muka, sulit untuk membangun gerakan buruh dengan cara pengklasifikasian kelas. Secara politik, sangat sulit bila dalam membangun gerakan buruh atau tani misalnua harus mengikuti metode klasifikasi. Sebaliknya, jika menggunakan metode proses maka kita bisa membuat organisasi yang jauh lebih terbuka. Karena itu, mungkin serikat buruh lama—yang berpatokan pada tenaga kerja tetap—bukan lagi model yang menjanjikan untuk sekarang. Harus mulai berpikir melakukan pengorganisasian di dalam kominitas. Dan seluruh pemisahan yang selama ini kita buat, seperti pekerja, penganggur, dan macam-macam harus diperiksa ulang, agar pengorganisasian politik bisa efektif. Jika terus bertahan pada status yang sifatnya legal, maka serikat buruh hanya akan mengurus orangorang- yang bekerja di pabrik. Implikasinya, serikat buruh tidak akan pernah menjadi besar, karena buruh sekarang tidak berusia lama di dalam pabrik.

Dengan demikian, seluruh logika pengorganisasian serikat buruh yang bertumpu pada pemahaman lama mengenai kapitalisme sudah saatnya dipikir ulang. Karya asli Marx membuka pintu yang jauh lebih solid mengenai kapitalisme daripada ilmu sosial historis maupun Marxisme-Leninisme-nya PKI. Marxisme-Leninisme-nya PKI sederhana, karena itu pelabelan: tuan tanah baik, tuan tanah jahat dan seterusnya. Tidak disadari bahwa dalam kenyataan ada dinamika, posisi sosial seseorang bisa naik dan turun. Dan ketika membuat organisasi berdasarkan klasifikasi semacam itu seringkali gagal. Hal yang menark adalah bahwa dalam sejarah politik, gerakan-gerakan yang mencoba mengorganisasi berdasarkan kelas selalu terbalik dengan teorinya. Orang-orang yang mendukung analisis semacam itu justru datang dari mereka yang tidak, bukan dari mereka yang paling tidak diuntungkan. PKI dan BTI misalnya, petani sedang, bukan buruh tani. Buruh tani malah cenderung mengikuti tuan tanah baik dan tuan tanah jahat yang di atasnya. Jadi, sangat terkait antara upaya untuk memobilisasi politik dengan cara kita memahami masyarakat dengan analisis kelas maupun bukan.

Terakhir sebagai penutup, kembali ke dalam sejarah teori ilmu sosial, sekarang sebetulnya dunia akademik dan dunia aktivis jauh lebih terbuka. Sehingga agak sulit untuk mengatakan satu paradigma dominan dan yang lainnya tidak. Ada pertandingan dan kompetisi didalamnya. Pertanyaannya, apakah analisis kelas sekarang masih relevan? Ada yang menyebutkan sudah tidak relevan, karena kapitalisme sekarang sudah jauh berkembang dari kapitalisme yang menjadi perhatian Marx. Memang betul, tapi baik kapitalisme dulu maupun sekarang berdiri di atas prinsip yang sama: M-C-M. Pada titik itu tidak ada perubahan. Tidak ada perubahan yang terlalu istimewa dari cara kerja modal: semuanya untuk akumulasi. Bahwa ada banyak ragam atau cara akumulasi modal yang lain, itu betul, tetapi prinsip dasar yang menghidupinya tetap sama.

Sejauh mana analisis kelas berguna atau tidak? Kalau saya melihat, analisis kelas masih sangat berguna sebagai titik awal untuk memahami kapitalisme yang kompleks. Bagaimanapun juga, setuju atau tidak, suka atau tidak, jika kita hendak menganalisis sesuatu harus dimulai dari satu titik. Kita tidak bisa memulai dari chaos—menjelaskan segala hal. Jika ingin membuat analisis yang serius harus ada titik berangkat. Tidak masalah jika di akhir perjalanan melakukan analisis kita melihat bahwa apa yang kita lihat di awal ternyata tidak sehebat yang kita duga sehingga banyak revisi. Itu tidak masalah, karena dengan cara itulah teori berkembang. Dan di dalam semangat menghidupkan teori, analisis dan politiknya sekaligus, saya kira analisis kelas tidak ada matinya. Dia akan terus berguna di dalam rangka menghidupkan seluruh perdebatan di dalam (1) politik, yakni bagaimana caranya menghasilkan politik yang efektif; dan (2) di dalam teori, yakni bagaimana kita lebih bisa mengorganisisasi kenyataan di dalam sistem pengetahuan kita—tergantung di mana kita berdiri dan apa yang kita kerjakan. Tapi jelas, dia sangat berguna. Sengaja saya tutup dengan provokasi berhadap ada reaksi, sehingga terjadi perdebatan.

Catatan

[*] Tulisan ini merupakan transkrip presentasi yang disampaikan Hilmar Farid dalam Diskusi Bulanan Akatiga dengan tema Analisis Kelas dan Ilmu Sosial Indonesia, 05 November 2007.

Tidak ada komentar: